Tidak Tiba-Tiba Didi Kempot Kembali Populer
Oleh: Michael HB Raditya
Pada awal tahun 2019, lagu “Pamer Bojo” kembali meledak di pasaran. Lagu Didi Kempot yang dipopulerkan pada tahun 2016 dalam album Kasmaran tersebut kembali digemari publik. Hal yang menarik, lagu tersebut tidak hanya digemari oleh penggemar Didi Kempot yang telah setia sejak karier musiknya pada tahun 1990-an, melainkan oleh para penggemar baru dari kalangan milenial. Kini, di pelbagai konser musiknya kerap dipadati oleh anak-anak muda yang [terkadang] tidak menahu karier Didi sebelumnya. Bahkan tidak jarang dari milenial yang tidak hafal lagu-lagu dari sang penyanyi Campursari tersebut. Kendati demikian, Didi tetap digemari diagung-agungkan. Dampak dari kepopulerannya, turut memunculkan hal yang menarik, mulai dari gelar The Lord of Broken Heart; munculnya kelompok Sobat Ambyar untuk menamai basis penggemarnya; juga sebutan sad boy dan sad girl untuk pendengar dan penggemar berdasarkan jenis kelamin; serta pelbagai konser yang membuat jadwalnya semakin padat.
Didi mulai kembali diundang insan pertelevisian guna mengurai alasan ketenarannya kini, khususnya soal milenial, di antaranya: “Rossi” di Kompas TV, “Ini Talk Show” di NetTV, dan lain sebagainya. Pada acara tersebut, tidak jarang Gofar Hilam—seorang penyiar radio dan youtuber—turut diundang karena dugaan mendekatnya milenial ke Didi Kempot terjadi karena talk show bertajuk #Ngobam darinya. Bahkan jumlah tayang dari acara tersebut per 9 September 2019, sudah berjumlah 4.181.800 kali. Jumlah yang tidak sedikit sebagai sebuah acara talk show di youtube. Singkat kata, Didi memang terdesiminasikan ke khalayak akan adanya hal tersebut. Namun, apakah hanya talk show Gofar Hilman yang membuat Didi Kempot kembali populer? Apakah ada alasan lain mengapa Didi Kempot mendapatkan popularitasnya kembali? Atau lebih tepatnya, apakah yang membuat milenial jatuh hati padanya?
Bermula dari Senggakan Cendol Dawet
Sebenarnya di dalam talk show Gofar Hilman, sudah terlihat hal yang membuat Didi Kempot kembali digemari. Adalah lagu “Pamer Bojo” yang menjadi alasan utama mengapa milenial menggemari musisi senior Campursari tersebut. Alih-alih serupa dengan versi Didi Kempot, di dalam lagu, khususnya antara bagian verse ke reffrain, terdapat bagian yang ditambahkan, yakni interaksi “Cendol-Dawet”. Interaksi ini mengajak penonton untuk saling berbalas suara, sebagai berikut:
Penyanyi: Cendol Dawet Seger!
Penyanyi: Cendol, Cendol!
Penonton: Dawet, Dawet!
Penyanyi: Cendol, Cendol!
Penonton: Dawet, Dawet!
Penyanyi: Cendol Dawet Seger!
Penyanyi: Piro?
Penonton: Lima ratusan!
Penyanyi: Terus?
Penonton: Nggak Pakai Ketan!
Bersama-sama: Ji, Ro, Lu, Pat, Mo, Enem, Pitu, Wolu.
Takitang kitang!//Takitang kitang!//Lololo//Joss!!!
Interaksi penonton dan penyanyi ini kiranya membuat video Gofar Hilman tersebut terasa mengasyikkan. Walau dapat dilihat di dalam video #Ngobam bahwa Didi Kempot terkesan tidak begitu paham asal interaksi tersebut. Lebih lanjut, ketika interaksi terjadi, Didi justru terlihat agak mempertanyakan dengan sisipan tawa akan setiap kata senggakan tersebut. Namun yang menarik, alih-alih Didi menolak, Didi justru meresponsnya dengan goyangan pundak serta senyum. Hal ini menunjukkan bahwa Didi bernegosiasi dengan senggakan yang muncul di dalam lagunya. Ia tidak sepenuhnya menerima, tetapi ia tidak menolak. Pengejawantahan dari hal ini adalah Didi tidak pernah terlibat di dalam senggakan “Cendol Dawet”, namun senggakan tersebut tetap digunakan di panggung-panggungnya dengan diisi oleh para pemain atau biduanita yang ia bawa. Bahkan tidak hanya lagu “Pamer Bojo”, penonton turut memaksakan “Cendol Dawet” pada lagu lain, semisal “Banyu Langit”.
Usut punya usut, senggakan “Cendol Dawet” telah viral sebelumnya di pelbagai media, seperti instagram, facebook, twitter, juga youtube. Adalah Abah Lala dengan MG 86 Production-nya yang menginisiasi senggakan tersebut untuk pertama kalinya di lagu “Pamer Bojo”. Sejak awal tahun 2019, Abah Lala dan MG 86 Production mempopulerkan lagu tersebut dengan tawaran senggakan yang partisipatif. Bukan lagi “Bukak Sitik Joss” ataupun “Asek-asek Joss”, melainkan “Cendol Dawet”, sesuatu yang berada di sekitar mereka tetapi tidak terpikirkan untuk dilakukan. Menurut pengakuan Abah Lala di dalam wawancara yang dilakukan oleh para youtuber, senggakan tersebut dibuat untuk penggunaan yang lebih ramah bagi penonton usia remaja atau anak-anak. Oleh karena keunikan senggakan yang dibuat, pun netizen tertarik dan segera membuat lagu Didi Kempot yang menceritakan perasaan patah hati karena melihat sang pasangan mempunyai gandengan baru menjadi viral di kalangan milenial.
Viralnya lagu tersebut lantas membuat banyak Orkes Dangdut lainnya, khususnya di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah, turut memainkan lagu “Pamer Bojo” berserta senggakan “Cendol Dawet”-nya. Hal ini kiranya membuat gaung lagu tersebut semakin luas. Namun hal tersebut bukan hal yang aneh, pasalnya tidak jarang Dangdut Koplo menggunakan lagu Didi Kempot di dalam pertunjukannya, mulai dari “Perawan Kalimantan” di tahun 2012-an, hingga “Pamer Bojo” belakangan ini. Alih-alih hanya menguntungkan MG 86 Production dan orkes dangdut lainnya, Didi Kempot pun ikut memetik buahnya. Popularitas hingga penobatannya sebagai Raja Patah Hati, Didi dapatkan. Kini, para milenial pun mulai menaruh perhatian lebih pada Didi Kempot. Mereka mulai menelusuri lagu-lagunya, mendatangi konsernya, dan melakukan titahnya, “Patah hati, jogetin aja!”.
Lagu Baru, Anak Muda, Berbahasa Jawa
Sebuah kejutan melihat Didi Kempot kembali populer akhir-akhir ini di tengah derasnya musisi pendatang baru dari pelbagai genre. Pun tidak jarang mistifikasi akan kenaikannya turut dilakukan. Namun, jika ditilik lebih lanjut dari genre yang membuatnya kembali tenar, Dangdut, terdapat pola menarik yang justru dapat menjelaskan naiknya popularitas Didi Kempot belakangan. Adalah Dangdut, genre musik yang terus tumbuh dan berkembang. Tidak berhenti pada Dangdut Koplo, Dangdut justru terus berkembang mencari formula baru dengan pelbagai upaya dari pelaku di dalamnya.
Hal yang menarik, perubahan tersebut berasal dari segerombolan pemuda yang giat menciptakan lagu berbahasa Jawa Ngoko. Gerombolan pemuda yang saya percaya sebagai gelombang baru dalam musik dangdut kini. Diawali dari lagu “Sayang” yang pertama kali dipopulerkan oleh OM Wawes. Lagu ciptaan Anton Obama ini menjelma sebagai lagu populer yang diperebutkan banyak pihak. Semisal NDX Aka yang turut mempopulerkannya dengan memasukkan unsur rap di dalam lagu tersebut; kemudian Via Vallen dan pelbagai orkes Dangdut Koplo lainnya. Kendati kontroversi pengakuan siapa pemilik lagu terjadi, tetapi dampak dari lagu “Sayang” adalah bermunculannya lagu patah hati berbahasa Jawa lainnya.
Pasca lagu “Sayang”, muncul dua hal penting, pertama, pelbagai lagu Dangdut berbahasa Jawa lainnya yang ikut meledak di pasaran; kedua, bertambahnya individu atau kelompok pemuda yang menyanyikan lagu baru tersebut. Dua kelompok yang perlu ditautkan di awal adalah OM Wawes dan NDX Aka. OM Wawes perlu dicatat di awal era dangdut baru karena setelah lagu “Sayang”, mereka konsisten memproduksi lagu hingga kini, seperti: “Kowe Lungo”, “Tetep Neng Ati”, “Dinggo Bukti”, “Ilang Roso”, dan lain sebagainya. Lagu-lagu OM Wawes menautkan dan menceritakan kisah anak muda dengan cintanya. Sedangkan NDX Aka, setelah ketenarannya yang didapat dari lagu “Sayang”, mereka juga aktif membuat lagu Hip Hop Dangdut, seperti: “Ditinggal Rabi”, “Kimcil Kepolen”, “Move On”, “Bojo Ketikung”, dan beberapa lainnya. Lagu-lagunya menjadi angin baru dalam dunia Dangdut Indonesia.
Alih-alih hanya NDX Aka yang mengusung Hip Hop Dangdut, terdapat kelompok lain yang tidak kalah menarik, yakni Pendhoza. Tidak lama lagu “Sayang” berselang, lagu-lagu Pendhoza mulai dikenal dan digemari, seperti: “Bojoku Galak”, “Aku Cah Kerjo”, dan lain sebagainya. Terkhusus “Bojoku Galak”, lagu ini mendapat perhatian besar dari masyarakat musik tanah air karena dirasa mewakili banyak curahan hati pemuda. Kegemilangan ini pun membuat dua pemuda asal Bantul, Yogyakarta ini terus memproduksi lagu serupa, seperti “Demi Kowe” (2019) yang turut mencuri perhatian. Tidak bertahan dengan Hip Hop Dangdut, turut muncul band lain yang mengusung format musik berbeda, bernama Guyon Waton. Guyon Waton memulai menyanyikan lagu patah hati dan mendistribusikannya melalui instagram sejak 2015. Dengan format dangdut akustik, Guyon Waton justru diminati oleh pendengar musik dangdut dan milenial. Tahun 2017, Guyon Waton mulai mendapatkan perhatian besar dari penggemar musik. Beberapa lagunya seperti “Korban Janji”, “Lungaku”, “Karma” membuat Guyon Waton mendulang kesuksesan sebagai band dangdut asal Yogyakarta. Kini, lagu-lagunya menjadi parameter musisi dangdut lainnya.
Dari asal kota yang sama, Yogyakarta, terdapat tiga pemuda yang menamai dirinya Klenik Genk. Mengusung semangat yang sama laiknya, OM Wawes atau Guyon Waton, Klenik Genk menciptakan dan membawakan lagu berbahasa Jawa. Beberapa lagu tenarnya, semisal: “Aku Lilo”, “Roso Iki”, “Manut Dalane”, dan lain sebagainya. Tidak hanya band, duo, ataupun trio, turut muncul biduan laki-laki yang menyanyikan lagu mereka sendiri, seperti: Agung Pradanta dengan lagu “Kependem Tresno”, “Kuat Ati”, “Bantul Akeh Kenangan”, dan beberapa lainnya; Ndarboy Genk dengan lagu “Tibo Mburi”, “Aku Seng Nduwe Ati”, “Balungan Kere”, dan lain sebagainya; Ilux ID dengan lagu “Mundur Alon-alon”, “Iklasno”, “Ketaton”, dan beberapa lainnya; hingga pemuda asal Ngawi, Denny Cak Nan yang mendapatkan popularitasnya pertengahan tahun 2019 dengan lagu “Kartonyono”, “Sampek Tuwek”, dan lain sebagainya. Para biduan lanang ini turut memenuhi arus utama dangdut ‘baru’ ini.
Bertolak dari OM Wawes, NDX Aka, Pendhoza, Guyon Waton, Klenik Genk, Agung Pradanta, Ndarboy Genk, Ilux ID, Denny Cak Nan, dan biduan laki-laki serupa, mayoritas dari lagu yang diciptakan atau dipopulerkan menceritakan tentang patah hati dari mata milenial. Alih-alih berbahasa Indonesia, dengan bahasa Jawa Ngoko yang digunakan sehari-hari, lagu-lagu mereka justru dianggap dekat dan merepresentasikan perasaan patah hati dari generasi milenial. Eksistensi para biduan laki-laki milenial ini telah membuat telinga dan referensi musikal masyarakat pendengar musik dangdut ataupun genre lainnya terbiasa dengan lagu patah hati berbahasa Jawa. Hal terpenting yang perlu dicatat, para musisi muda dangdut ini turut mereferensikan Didi Kempot sebagai inspirasi dalam menciptakan lagu. Semisal OM Wawes dan Guyon Waton yang dengan terang-terangan mengaku bahwa kerap membawakan lagu Didi Kempot di awal karier mereka. Kebiasaan membawa lagu ini kiranya membuat mereka terinspirasi dalam menciptakan lagu patah hati. Alhasil kesamaan bahasa, keserupaan tema, hingga aransemen musik yang tidak jauh berbeda ini lah yang lantas membuat Didi kembali populer dan dapat menaklukkan pada pendengar milenial. Bahkan tidak hanya menaklukkan, konsistensi akan lagu-lagunya yang bertema patah hati sejak 1990an, turut menasbihkannya menjadi raja dari mereka. Raja dari orang-orang yang patah hatinya karena ihwal sentimentil tapi subtil, cinta.[]