Dangdut di Taiwan: Sebuah Percakapan Awal
Michael HB Raditya
Saya—mewakili Dangdut Studies Center atau dangdutstudies.com—melakukan percakapan dengan Wu Ting Kuan (Sima). Wu Ting Kuan (selanjutnya disebut Mas Sima) adalah salah seorang warga Taiwan yang tinggal di Kaohsiung, Taiwan. Mas Sima terlibat aktif di PMI (Pekerja Migran Indonesia), terutama pada bidang seni-budaya. Sudah ±enam tahun Mas Sima melakoni pekerjaan tersebut. Saya mendapat kontak dan berkomunikasi langsung dengan narasumber berkat bantuan dari salah seorang kontributor kami, Dr. Wisnu Adihartono (selanjutnya disebut Mas Wisnu). Pembicaraan ini menyeruak karena pembahasan mengenai dangdut dan migrasi dari tulisan Mas Wisnu yang baru-baru ini diterbitkan di dangdutstudies.com (klik di sini untuk membaca). Maka saya tertarik dengan bagaimana dangdut di tanah rantau? Lalu, Mas Wisnu menghubungkan saya dengan Mas Sima pada sebuah grup di aplikasi bertukar pesan.
Mendengar Dangdut di Tanah Rantau
Saya cukup tertegun dengan percakapan di aplikasi bertukar pesan bersama Mas Wisnu dan Mas Sima. Mas Sima dengan gamblang bercerita mengenai keberadaan dangdut di tanah rantau, Taiwan. Bagi Mas Sima, dangdut menjadi salah satu hiburan yang penting bagi orang Indonesia di Taiwan. Dangdut kerap menjadi acara unggulan yang dihelat berkenaan dengan orang Indonesia di Taiwan. Menurut Mas Sima, jumlah Pekerja Indonesia mencapai 270,000 ribu, tidak termasuk ABK LG (Anak Buah Kapal – Letter of Guarantee). Masih ada sekitar 30.000 WNI yang menikah dengan warga Taiwan, dan ±14.000 pelajar (kuliah dan program magang) asal Indonesia. Bagi Mas Sima, WNI adalah kelompok warga asing terbesar di Taiwan. Tentu soal jumlah (270.000) merupakan data yang tidak jauh berbeda dari data yang saya telusuri dari media online kompas.com, yakni ±260.000[i]. Dari data tersebut, dapat kita bayangkan mengapa dangdut menjadi pertunjukan unggulan.
Pelbagai Orkes Melayu Dangdut di Taiwan kerap tampil pada acara kesenian, temu warga Indonesia di Taiwan, temu paguyuban atau komunitas, acara pernikahan, perayaan Idul Fitri, pesta di klub malam, dan lain sebagainya. Menurut Mas Sima, “orang Indonesia yang nikah di sini juga banyak, mereka suka panggil orkes [sebagai hiburan acara]”. Hal ini tentu menarik bagi saya, di mana dangdut tetap digunakan sebagai acara hiburan di dalam perkawinan. Tidak hanya acara pernikahan, dangdut juga mengisi pada acara perayaan Idul Fitri. Lebih lanjut hal ini bertautan dengan bagaimana menghadirkan keindonesiaan di Taiwan pada acara mereka, baik personal seperti perkawinan, ataupun publik laiknya temu komunitas hingga hari besar agama sekali pun. Mereka lazimnya mengadakan pertunjukan di warung Indonesia, gedung atau lapangan yang mereka sewa secara mandiri. Orkes Melayu ataupun Organ tunggal menjadi pemusik yang mengiringinya.
Ada pun beberapa Orkes Melayu yang disebut Mas Sima, semisal New Ramesta, Redista, Elsa Nada, Kaymar, Yogi, dan lain sebagainya.
(Gambar oleh Wu Ting Kuan)
Tidak hanya Orkes Melayu di Taiwan, beberapa perusahaan atau komunitas juga mengadakan acara dangdutan dengan mengundang biduan dan biduanita dangdut tanah air. Menurut penuturan Mas Sima, sebelum pandemi setiap tahun perusahaan Indonesia, organisasi daerah, atau komunitas Pekerja akan mengundang artis dangdut ke Taiwan.
(Gambar oleh Wu Ting Kuan)
Hal di atas tentu menarik, di mana kelompok atau perusahaan mengundang biduanita atau biduan yang tengah naik di tanah air sebagai acara untuk para pekerja. Hal ini tentu bisa dilihat dengan banyak sudut pandang. Namun terkhusus organisasi daerah, saya melihat jika mengundang biduanita atau biduan yang mereka sukai adalah kesenangan sekaligus kebanggaan mereka. Karena dalam lelah bekerja, mereka dapat menampilkan pujaan hati walau hanya sehari—dalam pentas.
Tidak hanya itu, informasi menarik lain yang saya dapatkan dari Mas Sima adalah adanya klub malam khusus dangdut. Bagi saya, hal ini tentu menjadi perhatian lebih, “bagaimana mungkin ada klub malam khusus dangdut di sana?” Mas Sima lalu menimpali, “aku kenal baik dengan penyanyi dangdut di Taiwan yang senior, nah beliau adalah pemilik bar dangdut”. Bahkan Mas Sima menambahkan jika “banyak sih di sini hampir semua warung Indonesia punya karaoke, isinya lagu dangdut semua, tapi kebanyakan Cirebonan dan Banyuwangi”. Ia menambahkan, “tapi kalau kita [pergi] ke pelabuhan anak-anak lebih suka Tarling atau dangdut Cirebonan. Grup lainnya banyak Orang Jatim ya mereka suka Koplo”. Lebih lanjut, akhirnya saya mengidentifikasi jika jenis dangdut tertentu disukai oleh kalangan tertentu yang mendiami suatu tempat.
Kerentanan dan Ekspresi Diri
Dangdut di Taiwan tentu rentan, pasalnya saya melihat banyak kompleksitas yang muncul di setiap kehadirannya, mulai dari bagaimana mereka terbentuk, berlatih, ataupun tampil. Lebih lanjut, dangdut bukan hanya soal ketika mereka dipertunjukkan, tetapi ada hal-hal antrpologis yang berada di belakangnya.
Saya akan memulainya dengan siapa mereka? Dari percakapan yang saya lakukan, beberapa dari pemain berprofesi sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga). Hal ini mengakibatkan jadwal yang ketat dan minim libur. Tidak hanya itu, beberapa dari pemain juga berprofesi sebagai pekerja yang rentan dengan lembur. Alhasil menyusun waktu yang rigid laiknya orkes di tanah air akan berbeda. Hal ini berakibat pada bagaimana eksistensi dari orkes melayu di Taiwan itu sendiri.
Mas Sima, sebagai orang yang sudah lama tinggal dan mengamati dangdut di Taiwan juga bercerita jika, “di sini regenerasi susah, kalau anak-anak kontraknya finis [habis], grupnya sering bubar”. Hal ini tentu membuat kehadiran orkes melayu tidak dapat dipastikan. Orkes Melayu tidak punya visi yang panjang, Ia hanya dapat hadir dalam waktu tertentu. Pasalnya Orkes Melayu di Taiwan niscaya dipastikan dan ditentukan oleh faktor eksternal, yakni kontrak kerja para pemain di dalam orkes melayu. Hal ini sudah barang tentu menjadi penentu akan bagaimana orkes melayu di Taiwan.
Hal yang jadi pertanyaan kini, “Jika sesulit itu, mengapa mereka tetap ada?” “Mengapa mereka tetap bermain dangdut?” Tentu pelbagai dugaan muncul untuk memahami mereka, tetapi melalui Mas Sima juga lah kami semakin percaya mengapa mereka tetap ada. Mas Sima mengatakan jika “saya sangat senang ikut acara dangdutan di sini, saya melihat anak-anak di sini memang butuh liburan kayak gitu karena hidup mereka penuh dengan penderitaan”. Jawaban ini tentu menjadi kunci dari pertanyaan ataupun dugaan saya, di mana dangdut hadir sebagai wahana mereka dalam menyampaikan ekspresi personal yang dialami. Apalagi hidup sebagai pekerja di Taiwan tidak lah mudah, mereka berada bukan di tempat kelahirannya, dan mereka jauh dari rumah. Saya bisa pastikan jika keluh kesah mereka tidak dapat lagi ditahan, pelbagai kenyataan yang pahit pasti mereka terima, dan melalui dangdut lah mereka dapat melepaskan perasaan-perasaan tersebut.
Dari hal ini, bagi saya berkembang masifnya orkes dangdut dan organ tunggal, ataupun banyaknya acara dangdut di Taiwan bukan hanya sekadar aktivitas untuk mengisi leisure time atau waktu luang, melainkan menjadi pleasure atau kesenangan dan ekspresi dalam melepaskan diri dari segala penat dan ikatan kertertundukan walau untuk beberapa jam saja.
Aktualisasi Diri dan Tidak Ketinggalan
Satu hal menarik yang selalu ditekankan Mas Sima adalah PMI memiliki single atau lagu. Hal ini tentu membuat saya garuk-garuk kepala, mengapa mereka membuat lagu? Bukankah memainkan lagu yang sudah ada lebih mudah dilakukan ketimbang membuat baru? Dari pertanyaan itu, Mas Sima menjawab dengan “Di sini banyak PMI bikin single, kadang mereka cari penulis lagu dari Indonesia. Ketika mereka punya karya sendiri, job sampingan mungkin akan tambah kerena seringkali diundang tampil sebagai ‘artis’.”
Dari Jawaban Mas Sima tentu kita mengetahui bahwa maksud lagu baru PMI adalah soal komoditas. Soal bagaimana job dangdut mereka semakin banyak. Hal ini tentu menjadi pembahasan yang menarik, khususnya soal kontestasi ekonomi antar orkes melayu dan organ tunggal. Namun di sisi yang lain saya justru merasa jika hal ini tidak hanya soal ekonomi, terlebih keberadaan usia sebuah orkes melayu saja sangat sulit dipastikan.
Maka saya melihat jika penciptaan lagu dari PMI dapat diartikan kepada dua hal. Pertama, penciptaan lagu oleh PMI—terkhusus diciptakan sendiri—merupakan ekspresi langsung dari apa yang mereka rasakan, mulai dari majikan galak, kerja berat, jauh dari rumah, dan lain sebagainya. Hal ini tentu dapat terkait langsung kepada pendengarnya di sana. Dangdut menjadi ruang ekspresi mereka dalam menyampaikan persoalan yang dialami.
Kedua, lagu dibuat untuk penciptaan momen antar mereka. Lagu tersebut menjadi pengingat jika mereka pernah ada dan melakukan sesuatu. Kecemasan usia orkes melayu yang tidak dapat dipastikan keberadaannya membuat kesadaran lebih besar untuk menunjukkan diri sekaligus membekukan diri pada momen tertentu. Maka lagu tersebut saya artikan sebagai produk eksistensi mereka yang dapat diingat di kemudian hari, bahkan seusai kontrak kerja usai atau orkes melayu bubar. Hal yang menarik, lagu mereka tidak lekang oleh waktu, apalagi mereka unggah di platform daring yang dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja.
Dengan membuat lagu yang diunggah di platform daring, kemungkinan booming-nya lagu tersebut dapat saja terjadi. Lebih lanjut saya melihat jika mereka juga memiliki asa agar tetap tertaut dengan perkembangan dangdut di tanah air. Hal yang tidak jauh berbeda dengan pertanyaan akhir saya, “Mas Sima apakah di sana juga booming senggakan “tarik sis semongko” atau cendol dawet?” Ia menjawab, “Iya dong, tahun lalu aku kerja sama dengan OM New Ramesta, ada sesi khusus mempelajari senggakan hak e hak e”. Walau kami tutup percakapan dengan tawa, tetapi saya sadar jika tidak ketinggalan dan tertaut dengan perkembangan dangdut adalah salah satu syarat mengapa dangdut tetap ada di Taiwan walau pekerja datang, pulang, bahkan berganti. []
*Percakapan dilakukan pada 16 April 2021. Terima kasih kepada Wu Ting Kuan dan Dr. Wisnu Adihartono atas percakapan yang membuat ini terjadi.
End note
[i] https://money.kompas.com/read/2020/05/04/100134726/minat-kerja-jadi-tki-di-taiwan-ini-kisaran-gajinya?page=all. diakses 18 April 2021.
Michael HB Raditya
Naskah diterbitkan pada 19 April 2021.