Meretas Perbedaan: Refleksi Orkes Dangdut pada Festival Sumba
Meretas Perbedaan: Refleksi Orkes Dangdut Pada Festival Sumba
Michael HB Raditya
Ketika malam (26/10/18) semakin larut, para mahasiswa/i dari Sumba, Nusa Tenggara Timur yang tengah memadati halaman Gedung R.M. Margono, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta terus meminta kami untuk tidak berhenti mendendangkan lagu. Secara berdesakan, mereka memadati dan mengerubungi panggung. Adrenalin semakin terpacu, tubuh pantang diam, dan atensi semakin kuat. Imbasnya penonton seakan “merongrong” lagu tanpa ingin terputus guna menjaga mereka dalam gerak. Halaman rumput R.M. Margono—yang disayangi oleh salah satu dosen Antropologi, Pujo Semedi—pun disulap bak lantai dansa.
Pun saya cukup kewalahan dengan energi yang terburai di panggung dan arena penonton. Saya yang seharusnya mengatur ‘lalu lintas’ atau alur pertunjukan dibuat kelabakan. Pola dramaturgi yang telah saya atur sebelumnya berubah menjadi sangat cepat. Kami bermain tanpa henti dari satu lagu ke lagu yang lain, dan tidak disangkal pada urutan lagu keenam, nafas kami mulai terbata-bata. Alhasil pertunjukan terasa sangat melelahkan. Banyak kangeners—sebutan untuk penggemar Orkes Melayu Jarang Pulang—menyadari tempo yang sangat cepat. Namun di sisi lain kami menikmati panggung tersebut. Laiknya sebuah pesta, maka panggung dangdut festival Sumba menjadi sebuah perayaan yang menyenangkan, tidak hanya untuk penonton, melainkan juga untuk Orkes Melayu Jarang Pulang.
Pada lagu ketujuh, peluh keringat membasahi tubuh. Meminta untuk diteruskan, mereka menyebutkan sebuah lagu yang justru terasa aneh. “Bojoku Galak”, judul lagu yang keluar dari mulut salah seorang teman Sumba. Hal ini tentu asing, pasalnya saya mengatur urutan lagu seumum mungkin, mulai dari repertoar “135 Juta” milik Rhoma Irama hingga “Karena Su Sayang” yang tengah tenar dalam jagad Dangdut Koplo oleh karena Nella Kharisma—biduanita Lagista—menyanyikannya di platform Youtube.com. Padahal, saya telah memilihkan lagu berbahasa Indonesia atau dekat dengan irama, tempo, atau lagu daerah di Sumba guna menautkan pada referensi musikal rekan-rekan Sumba.
Setelah “Bojoku Galak”, semuanya berubah. Ada beberapa lagu lain yang bercampur dengan berbahasa Jawa, semisal “Sayang”. Bahkan di akhir pentas, mereka meminta kembali satu lagu untuk dimainkan. Adalah “Jaran Goyang”, menjadi pilihan mereka sebagai encore dalam pertunjukan tersebut. Hal yang mengherankan, kejadian tersebut didasarkan akan permintaan dari rekan penonton yang berasal dari Sumba. Entah mereka memahami lirik dari lagu tersebut atau tidak, yang lebih menarik dicatat adalah dangdut dan goyang bisa membuat mereka “menikmati” malam tersebut.
Pada awalnya, saya sempat ragu ketika rekan-rekan Antropologi Budaya, UGM mengundang kami—Orkes Melayu Jarang Pulang selanjutnya disebut OMJP—untuk memeriahkan Festival Sumba. Beberapa alasan sederhana terbetik di kepala, mulai dari pikiran bahwa ekspresi kultural dan referensi aural rekan-rekan Sumba bukanlah dangdut, hingga alasan strategis reaksi penonton kelak. Namun tawaran akhirnya saya sepakati dengan alasan yang terbetik di kepala, bagaimanakah masyarakat Sumba di Yogyakarta menikmati lagu dangdut yang bukan ekspresi kultural dan aural mereka? Saya paham ini sebuah perjudian, tetapi cara ini harus saya tempuh untuk melihat fenomena lagu “Sayang” yang dipopulerkan oleh Via Vallen terdesiminasikan dan merenggut ketenaran di daerah yang tidak berbahasa Jawa.
Bertolak dari hal tersebut, penelusuran mulai saya lakukan, baik penelusuran informasi dan lagu dari dunia maya, hingga menanyakan referensi musikal teman-teman Sumba. Terlebih salah satu anggota OMJP—Paulus Agus Umbu Tali—berasal dari Sumba, sehingga diskusi dan solusi dapat segera diputuskan. Adalah mengakomodasi lagu dangdut, Sumba, dan lagu Dangdut Koplo—yang berbahasa campur, antara Indonesia dan Jawa—sebagai jawaban. Kami pun segera membakukan urutan lagu, antara lain: “Pokoke Joged”, “Korban Janji”, “Dia”, “135 Juta”, “Miransantika”, “Simalakama”, “Dududu”, “Karena Su Sayang”, dan “Sayang”.
Pertimbangan pemilihan lagu “Pokoke Joged”—yang sempat tenar pada tahun 2013 dengan goyang Cesar di televisi—sebagai lagu pertama didasarkan pada tempo lagu yang cepat. Pun tempo yang cepat turut dicatat oleh Andrew Weintraub di dalam bukunya Dangdut Stories (2010). Lebih lanjut, “Pokoke Joged” kami anggap representatif dalam mengejawantahkan kekoploan dangdut secara cepat kepada penonton di Festival Sumba, baik dari manapun berada.
Kendati semua lirik berbahasa Jawa, tetapi tempo yang cepat kami percaya akan mencuri perhatian penonton secara sekejap. Perjudian pun menghasilkan, penonton langsung mendekat ke depan panggung. Tanpa aba-aba, tubuh penonton bergoyang mengikuti tempo yang cepat. Cara mereka berjoged pun berbeda dengan respons tubuh mereka terhadap musik Sumba—yang sebelumnya dipertunjukkan. Saya membaca gejala tersebut sebagai penerimaan musik dangdut oleh pendengar di luar dangdut—yang adalah teman-teman Sumba. Namun mereka tetap dapat merespons tempo dan ketukan karena kecepatan tempo tidaklah asing bagi mereka. Kita perlu maklum karena tradisi berdansa sudah menjadi sehari-hari di NTT. Walau dalam lirik, mereka tidak hafal dan lebih kerap menautkan lagu tersebut dengan acara saur di televisi.
Untuk lagu kedua, kami memainkan lagu “Korban Janji” karya dari Guyon Waton. Lagu tersebut tenar belakangan di belantika musik dangdut Jawa Tengah. Namun karena lagu tersebut terbilang baru, teman-teman Sumba belum terlalu akrab dengan lagu tersebut. Alhasil atensi menurun karena ketidaktahuan lagu tersebut, terlebih tempo dari lagu pertama dan lagu kedua cukuplah signifikan. Sebelumnya, hal ini saya kira karena minimnya aksesibilitas dari teman-teman Sumba dalam mendengarkan lagu tersebut. Namun saya meralatnya, pasalnya sinyal internet bukan benda asing di Sumba. Alhasil hal ini dapat dibaca sebagai tidak adanya relasi atau tautan musikal antara lagu yang dibawakan dengan referensi dari pendengar, baik lirik, tempo, hingga melodi.
Sedangkan lagu ketiga hingga ketujuh, kami menggunakan lagu yang telah diketahui sebelumnya, yakni: “Dia”, “135 Juta”, “Miransantika”, dan “Simalakama”. Lagu tersebut kami gunakan karena beberapa hal, yakni: pertama, menggunakan lagu berbahasa Indonesia; kedua, menggunakan lagu yang telah dikenal sebelumnya di masyarakat; ketiga, lagu yang dihadirkan tidak hanya dangdut, melainkan genre lain. Hal ini dilakukan untuk menjembatani jarak penonton yang tidak bereferensi musikal dangdut. Dampak dari susunan lagu di atas dapat menarik perhatian masyarakat Sumba kembali untuk mendekat ke area panggung.
Setelah sudah merekatnya penonton ke arah panggung, kami membawakan lagu berbahasa asing yang tengah naik daun. Adalah “Dududu”, lagu berbahasa Korea yang dipopulerkan oleh Blackpink. Kendati lagu ini berbahasa Korea, dan tidak semua dapat merapal teks dan bernyanyi bersama, tetapi lagu ini masih dapat diterima secara aural oleh teman-teman Sumba. Sebenarnya, ide membawa lagu “Dududu” dan “Dia”, di mana dua lagu tersebut di luar genre Dangdut Koplo adalah satu upaya penegasan akan logika Dangdut Koplo. Di mana Dangdut Koplo mempunyai aktivitas melahap atau mengapropriasi lagu di luar genre mereka. Sederhananya, semua lagu dapat diubah versi menjadi Koplo. Hal ini memang dianggap biasa saja, tetapi membawa beberapa nomor musik yang versi aslinya di luar dangdut adalah agenda menyuarakan logika Dangdut Koplo.
Lagu kedelapan adalah lagu “Karena Su Sayang”, lagu ini kami bawakan karena beberapa minggu sebelum hari pementasan, lagu tersebut menjadi tren di pelbagai sosial media. Alhasil keputusan membawakan lagu Timur ini bukanlah sebuah hal yang sulit dilakukan. Dampak menyenangkan dari membawa lagu ini adalah ruang partisipatif—atau bernyanyi bersama dengan penonton. Lirik berbahasa Timur ini lantas kami ubah versinya menjadi Dangdut Koplo. Perubahan genre ini kiranya tidak memberikan jarak apa pun, karena akhirnya dapat dipahami bahwa gerak tubuh dan lagu adalah tradisi masyarakat kita yang tidak jauh berbeda. Tempo cepat nan menstimulasi gerak justru membuat goyang mereka semakin banal.
Sedangkan lagu terakhir adalah lagu bertajuk “Sayang”. Untuk lagu ini saya tidak mempunyai persoalan lebih lanjut. Pasalnya lagu tersebut adalah lagu berbahasa Jawa yang sudah menjadi lagu umum di televisi. Selain “Sayang”, teman-teman Sumba juga meminta lagu lainnya, “Bojoku Galak” dan “Jaran Goyang”. Memainkan dua lagu berbahasa Jawa ini menarik, terlebih permintaan datang dari teman-teman Sumba. Tidak hanya meminta, mereka pun dapat bernyanyi secara bersama-sama lagu tersebut, walau mereka tidak mengetahui persis arti dari lirik demi liriknya, ataupun merapal lirik dengan betul. Hal ini tentu menarik perhatian, di mana akses dan tren memaksa mereka untuk mengetahui lagu tersebut. Sebenarnya hal yang lebih menarik adalah bagaimana lagu semacam ini bisa menjadi lagu yang dikenal oleh masyarakat luas—tidak hanya Jawa. Pasalnya jika lagu “Sayang” terbaca secara pola, maka kiranya hal ini bisa diberlakukan untuk lagu berbahasa daerah lainnya. Tidak hanya Jawa, tetapi Sumba, Papua, ataupun Gayo sekalipun.
Bertolak di luar itu semua, referensi musikal yang berbeda antara pelbagai masyarakat benar adanya. Hal ini seraya memastikan adanya sistem budaya yang berbeda-beda. Sedangkan upaya mempertunjukkan Dangdut Koplo kepada teman-teman Sumba dilakukan guna melihat negosiasi dari teman-teman Sumba dalam merespons musik tersebut secara gerak. Selain itu, perlu disadari bahwa tradisi teman-teman Timur dengan kesenian bukanlah ihwal asing. Berdansa adalah tradisi masyarakat Timur dalam mengekspresikan diri mereka. Hal yang menarik, ketukan dan tempo dari lagu-lagu Timur pun bergerak enerjik dan cepat. Hal ini dapat dilihat sebagai adanya kesamaan ketukan dan tempo dari musik Timur dan Dangdut Koplo.
Hasil dari upaya ini adalah referensi musikal memang berbeda satu sama lain, tetapi referensi musikal berkembang tidak hanya pada oposisi biner: kota dan daerah, seperti Jakarta dan Sumba; melainkan oposisi biner lainnya, seperti: pedesaan dan perkotaan, pegunungan dan pesisir, dan sebagainya. Hal ini tentu menjelaskan bahwa jarak akan referensi aural didasarkan akan seberapa jauh masyarakat mendapatkan aksesibilitas, bukan karena genetik ataupun bakat. Pasalnya, merujuk sosiolog termutakhir, Pierre Bourdieu, selera adalah konstruksi. Di mana konstruksi masyarakat didasarkan pada habitusnya masing-masing. Sebagaimana habitus adalah kebiasaan yang tinubuh hasil manifestasi akan pelbagai modal yang dikontestasikan dalam field of struggle. Singkat kata, selera ataupun referensi musikal adalah hasil tempaan.
Tidak hanya itu, perbedaan referensi musikal ini bukan ditujukan sebagai upaya mengunggulkan salah satu genre atau tradisi tertentu, pun bukan ditujukan untuk memasukkan paksa Dangdut Koplo sebagai referensi musikal teman-teman Sumba, melainkan memberikan kesadaran bahwa referensi musikal boleh berbeda, tetapi bukan berarti mereka harus dibedakan. Justru dengan Dangdut Koplo di Festival Sumba telah menunjukkan bahwa mereka mencoba menautkan referensi musikal mereka dengan referensi musikal Dangdut Koplo, gerak di dalam pertunjukan malam itu adalah hasil negosiasi musikal yang menarik. Kesamaan tempo membuat mereka terkait satu sama lain. Dan melalui musik Dangdut Koplo, saya melihat bahwa upaya pengliyanan teman-teman Timur yang kerap dilakukan pelbagai oknum justru dapat kita kritisi. Lebih lanjut, musik punya peran dalam memperlihatkan dalam perbedaan masih ada kesamaan yang bisa menjadi simpul bernama kesatuan Indonesia.[]