Dangdut dan Virus Corona: Dampak dan Bagaimana Menyiasatinya
Oleh: Michael HB Raditya
Sejak Presiden Jokowi mengumumkan kasus virus corona pertama di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 lalu, ekosistem musik—dalam hal ini musik dangdut dengan pertunjukan live-nya—bergejolak. Pasalnya dengan instruksi Pemerintah Daerah, pembatalan dan penundaan acara seni di beberapa kota satu per satu terjadi. Salah satu di antaranya, pengumuman akan penundaan acara Java Pop Festival yang menampilkan tiga kelompok dengan biduan lanang terpopuler, Ndarboy Genk, Guyon Waton, dan Denny Caknan terjadi seminggu silam. Semestinya acara tersebut dihelat pada 20 Maret 2020 di Stadion Sultan Agung, Bantul, Yogyakarta. Tidak hanya itu, band yang lebih senior dengan biduan lanang yang tidak kalah asyik, OM Wawes juga mengumumkan hal serupa. Di mana pembatalan akan acara yang akan menampilkan OM Wawes juga terjadi. Bahkan dampak persebaran virus corona juga memengaruhi jadwal peluncuran album mereka.
Dengan pembatalan atau penundaan hingga batas waktu yang belum diketahui, sudah barang tentu hal ini memengaruhi skema kerja dari para musisi terlibat. Terus terang saja, hal ini tentu berdampak langsung pada pemasukan mereka, baik sebagai band atau kelompok, maupun sebagai personal. Tidak hanya mereka, banyak agen lain dalam musik dangdut, seperti: orkes melayu—baik sebagai kelompok ataupun individu, antara lain: pemain kendang, keyboard, gitar, bass, suling, drum, icik-icik, hingga master of ceremony dalam tiap pertunjukan dangdut—, para biduan, pemain organ tunggal—baik yang format biasa ataupun organ tunggal plus—, penyedia sound system, penyedia lighting, penyedia panggung—dari panggung megah hingga teratak—, pemilik cafe yang punya tunggakan sewaan tempat, dan lain sebagainya, terkena dampak langsung dari pembatalan dan penundaan tersebut.
Hal ini tentu menjadi dilema tersendiri bagi para agen di dalam ekosistem dangdut. Pasalnya kita sadar betul jika di satu sisi mereka membutuhkan uang, di sisi yang lain perasaan waswas akan virus Corona—terlebih penyebarannya yang semakin hari semakin besar—terus terngiang. Atas dilema tersebut, beberapa kelompok musik dangdut telah mengalah untuk menerima keadaan dengan menghentikan aktivitas mereka, tetapi beberapa kelompok lainnya tidak melakukan hal serupa. Mereka tetap menghelat panggung live seperti hari-hari lazimnya—walau dengan beberapa antisipasi yang dilakukan, seperti penyemprotan disinfektan, maupun penggunaan termometer untuk mengukur suhu tubuh para tamu. Untuk sebagian orang, niscaya mereka dianggap sebagai pembangkang karena tidak mengikuti arahan pemerintah, tetapi persoalan bukan sesederhana mengikuti perintah atau sebaliknya, melainkan hal yang lebih subtil, menyambung hidup.
Jujur saja, keadaan terjepit terjadi para rekan-rekan dangdut yang tetap menghelat panggung harian, baik di cafe ataupun panggung mini. Pepatah yang menggambarkan keadaan mereka di tengah situasi ini adalah “Hidup segan, Mati tak mau”. Pasalnya sebagian para pelaku dangdut memang menggantungkan penghasilan hanya dari pentas-pentas live. Jika dihentikan begitu saja, bagaimana mereka dapat melunasi tunggakan, seperti: biaya kontrak rumah, listrik, hingga kebutuhan rumah tangga? Tentu saya mengira bahwa di antara dari para pembaca juga akan memberikan saran untuk berhutang dan membayarnya setelah masa penyebaran Corona usai. Hal ini tentu bisa dilakukan, tetapi selain alasan masa darurat virus Corona yang tidak menentu, jika virus Corona usai sebelum puasa sekalipun, para musisi dangdut harus kembali “beristirahat”. Pasalnya para pelaku dangdut akan “berhenti pentas” sejenak selama masa puasa berlangsung—belum lagi ormas yang “merasa” punya kewajiban melakukan patroli selama puasa akan beraksi. Runyam! Alhasil panggung live dangdut dapat kembali digelar pasca lebaran berlangsung, atau tepatnya di awal bulan Juni. Jika demikian keadaannya, bagaimana musik dangdut—baik di kota, di pinggiran kota, dan di daerah—dapat bertahan?
Menyiasati Corona: Terbatasi, Tetapi Jangan Patah
Pada 23 Maret 2020, tepatnya pukul 18.46 saya bergabung dengan instagram live dari seorang biduan cantik asal Nganjuk, Jawa Timur. Ia tengah berdandan dan bersiap untuk tampil di salah satu hajatan di daerahnya. Di waktu yang lain, saya juga masih melihat poster pertunjukan dangdut di beberapa tempat sliweran di tampilan feed instagram saya. Tentu saya tidak menganjurkan para pelaku dangdut untuk tetap mementaskan panggung-panggung mereka. Saya bersepakat bahwa di tengah badai virus corona ini, bertahan di rumah dan melakukan social distancing adalah langkah yang jitu untuk menghentikan penyebarannya. Namun apa yang mereka bisa lakukan untuk mendapatkan penghasilan? Apakah para pelaku dangdut patut menunggu belas kasih dan penggalangan dana—entah diinisiasi oleh PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia) ataupun paguyuban biduan lainnya? Sulit rasanya.
Daripada menunggu akan belas kasih orang lain, para pelaku dangdut memang harus memutar otak untuk dapat terus bertahan hidup. Namun bukan berarti para pelaku dangdut harus terus menyelenggarakan panggung seperti pertunjukan live lazimnya, melainkan para pelaku dangdut perlu beradaptasi dengan teknologi untuk menyalurkan bakat dan kreativitas mereka. Dengan menggunakan teknologi tersebut, ada beberapa ide yang dapat dilakukan oleh para pelaku dangdut, di antaranya: pertama, konser atau pentas daring. Konser atau pentas dapat dilakukan di rumah atau basecamp dari kelompok dangdut atau orkes melayu tersebut. Hal ini tentu bukan hal baru, di mana dunia dangdut sudah kerap melakukannya. Saya kerap melihat beberapa Orkes Melayu—semisal O.M. Sonata di Jombang, O.M. Lagista di Nganjuk, ataupun kelompok band dangdut, Dangduters di Yogyakarta—yang merekam atau melakukan penyiaran langsung melalui youtube atau instagram ketika berlatih. Bahkan seperti band dangdut yang tengah meledak, Guyon Waton lazim melakukan perekaman video cover mereka di rumah. Singkat kata, tawaran pertama bukanlah aktivitas asing buat mereka. Hal yang belum kerap dilakukan—di luar monetisasi youtube—adalah bagaimana membuat penonton yang menyaksikan dikenakan tarif tertentu. Agaknya hal ini perlu dicoba terlebih adanya beberapa konser daring yang dilakukan dari genre musik lainnya.
Kedua, membuat lagu yang berkenaan dengan fenomena yang merebak. Sejujurnya saya tidak patut ragu pada kemampuan pencipta lagu dangdut yang tanggap dengan fenomena yang terjadi di masyarakat. Pelbagai hal dapat menjadi referensi di dalam pelbagai lagu dangdut, semisal fenomena pelakor (perebut lelaki orang—biasa disematkan kepada wanita), dan masih banyak lainnya. Terkait menjadikan isu corona sebagai inspirasi lagu, sebenarnya beberapa penyanyi sudah sempat melakukannya. Sebut saja lagu dangdut Banyuwangi bertajuk “Corona”, singkatan dari Comunitas Rondo Merana (Komunitas Janda Merana), yang dinyanyikan Alvi Ananta pada akhir Februari lalu. Namun naas, lagu ciptaan Miswan Samudra ini harus dihapus dari youtube manajemen Samudera Record lantaran masyarakat menganggap lagu ini tidak menghormati dan tak berempati para penderita corona. KAMI (Keluarga Migran Indonesia) menyomasi pengarang lagu, penyanyi, dan Samudra Record ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Banyuwangi. Padahal lagu tersebut dimaksudkan pihak manajemen untuk menghibur masyarakat di tengah ketegangan menghadapi virus corona. Lagu lain yang terinspirasi dari virus corona adalah Ali Gangga dengan lagunya yang bertajuk “Cintamu Seperti Virus Corona”. Singkat kata, menciptakan lagu yang terinspirasi dari virus corona dapat dilakukan, tetapi patut hati-hati dengan cara ungkap untuk menghindari ketersinggungan pihak tertentu.
Ketiga, membuat lagu yang berasal dari ide penonton. Ketika membuat lagu dengan ide sendiri adalah hal yang lazim dilakukan, bagaimana dengan membuat lagu yang idenya berasal dari orang lain? Sebenarnya hal ini juga bukan hal baru. Kelompok seniman yang tengah melakukannya di tengah badai virus corona ini adalah kelompok teater boneka, Papermoon Puppet Theatre. Papermoon membuat pertunjukan yang didasarkan pada tema yang diinginkan para penonton. Setiap satu tema ditukarkan dengan sejumlah uang. Lantas tema-tema penonton akan dijahit menjadi sebuah pertunjukan. Hal ini tentu menarik jika diterapkan di musik, di mana ide penciptaan lagu, atau ide iringan musik ditentukan oleh penonton yang dikenakan biaya. Untuk orkes melayu all round—semua genre bisa dimainkan—tentu hal ini juga sebuah kemudahan.
Keempat, kolaborasi daring. Hal ini dapat dimaknai beragam, mulai dari berkolaborasi dengan sesama orkes melayu atau band dangdut, hingga kolaborasi dengan penonton. Kolaborasi antar band dangdut sebenarnya sudah kerap saya saksikan, semisal OM Wawes dan Guyon Waton; Klenik Genk dan Ndarboy Genk, Denny Caknan dan Ilux id, dan lain seterusnya. Hal ini kiranya patut kembali dilakukan melalui daring. Sedangkan kolaborasi dengan penonton sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun, mulai dari orkes melayu hingga organ tunggal. Sesederhana melakukan karaoke secara live. Kelima, siaran live terbatas dan berbayar. Cara keempat ini sebenarnya dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik video obrolan santai membicarakan karya dangdut, hingga membicarakan sejarah orkes melayu, ataupun tutorial bermain musik secara live hingga bagaimana tata pencahayaan pada dangdut. Khususnya mengenai tutorial, beberapa instrumen musik di dangdut mempunyai pesona untuk disaksikan. Dengan siaran live ini, hal yang terpenting adalah memangkas jarak antara orkes melayu dan biduan dengan para penggemar. Beberapa tawaran di atas sebenarnya mempunyai satu tujuan, merawat relasi dan menghubungkan pelaku dengan penonton.
Tentu tawaran di atas hanyalah sebuah dorongan untuk para pelaku dangdut agar dapat menyalurkan kreativitas dan tetap mendapatkan penghasilan. Hal ini tentu penting dilakukan sebagai langkah sinergis dalam situasi yang tidak menentu ini. Dengan mengubah pola pertunjukan fisik ke pertunjukan maya tentu memiliki kerugian tersendiri, tetapi kita patut mencobanya ketimbang tidak sama sekali. Sedangkan para penggemar dan penonton dangdut dan genre lainnya juga dimohon reaktif dalam mengapresiasi pelbagai upaya daring yang pelaku dangdut kerjakan. Suasana Indonesia saat ini memanglah sulit, membuat segala hal terbatasi, tetapi sebagai masyarakat sudah saatnya kita saling jaga agar semangat jangan sampai patah.
Persoalan Ekosistem Yang Belum Selesai Terurai
Apresiasi yang tinggi saya alamatkan kepada aktivitas penggalangan dana yang dilakukan masyarakat untuk membiayai warga dengan ekonomi ke bawah. Solidaritas itu patut diacungi jempol. Namun bagaimana dengan para musisi? Beberapa yang populer dan berada di Jakarta memang dapat melakukan anjuran #dirumahaja atau work from home, bahkan mereka dapat menginisiasi konser daring. Namun musisi tidak hanya mereka yang berada di Jakarta dan menyanyi di televisi. Dunia musik Indonesia tidaklah sekecil itu, tidak hanya mereka yang ada di industri musik Jakarta! Kita patut membicarakan mereka, para musisi yang tidak dilirik industri dan para musisi yang berada di luar Jakarta. Karena di sanalah perjuangan melawan corona lebih nyata dan penting untuk diperhatikan.
Sedangkan pada dunia dangdut, kita patut memberikan perhatian pada musisi dangdut yang berada di daerah, di luar kota besar. Apa yang dapat mereka lakukan untuk dapat bertahan hidup dalam skema work from home atau #dirumahaja? Bagaimana mereka mendapat penghasilan jika mereka tidak bekerja? Apakah jika mereka tetap menggelar panggung live di keadaan seperti ini menjadi sah? Tentu mulai mengurangi pertunjukan langsung adalah pilihan, sebagai gantinya pun beberapa tawaran sudah dikemukakan di atas. Entah tawaran tersebut akan dipilih ataupun menjadi ide awal akan sesuatu yang lebih besar, tetapi di luar itu semua saya tersadar akan adanya ketimpangan di dalam ekosistem musik Indonesia.
Saya kembali mengamini bahwa kita memiliki persoalan tentang kesadaran akan ekosistem musik. Lebih lanjut, kita juga mempunyai masalah kesadaran akan ekosistem musik dangdut. Sebagaimana dangdut tidak tunggal, melainkan berlapis, saya justru tersadar bahwa di dalam lapisan tersebut ternyata masih mempunyai lapisan-lapisan lainnya. Sebagai ilustrasi, untuk mengidentifikasi pelaku dangdut, pelaku dangdut tidak hanya mereka yang sudah populer dan dikenal, tetapi masih banyak kelompok orkes melayu lokal hingga organ dangdut yang tersebar dan bagian dalam ekosistem dangdut. Tidak hanya itu, lapisan ekosistem dangdut juga terkait dengan para penyedia jasa kebutuhan panggung, mulai dari busana, sound system hingga panggung itu sendiri.
Kompleksitas ini sudah cukup membuat saya percaya bahwa skena dangdut ini tidaklah sederhana. Namun apakah kita sudah “melihat” dan memperhitungkan mereka? Saya ragu. Dari hal ini, kita perlu bersepakat bahwa persoalan ekosistem musik—di antaranya adalah dangdut—belum selesai terurai, tetapi bukan berarti tidak dapat diurai. Dengan cara saling menjaga antar pelaku dangdut, penonton dan agen lainnya; jangan-jangan kita dapat memulai membenahi ekosistem musik yang sebelumnya—sengaja—tidak diperhatikan.[]