Virus Corona Menyerang, Raja Dangdut Kembali Datang, Apakah Kita Masih “Goyang”?
Oleh: Michael HB Raditya
Virus corona belum juga angkat kaki dari tanah air. Terhitung sudah satu bulan lewat, sejak tanggal 2 Maret 2020 ketika Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Tidak dapat disangkal, ajakan untuk tetap di rumah dalam memangkas lajur penyebaran pandemi corona ini juga menjadi ujian berat untuk para pekerja seni. Nasib para seniman tidak jauh-jauh dari dua keniscayaan, dibatalkan atau ditunda, baik konser musik, pameran, ataupun pagelaran tari sekalipun. Jika ingin tetap dilangsungkan, mereka harus ikhlas jika kegiatan seni dilakukan tanpa penonton, belum lagi surat izin keramaian yang sulit diproses di masa rentan ini.
Hal yang menarik, beberapa kalangan tidak ingin “tenggelam” dengan keadaan, khususnya dalam bidang musik, beberapa dari mereka tetap melakukan konser secara daring, beberapa lainnya membuat konser daring untuk mengajak penonton berdonasi; beberapa lainnya mengekspresikan diri (baca: berkarya) melalui media sosial; sedangkan beberapa di antaranya membuat pernyataan sikap sebagai bentuk solidaritas untuk melawan covid-19. Lantas bagaimana dangdut menyikapi pandemi corona ini? Pasalnya nasib serupa juga dialami oleh para pekerja musik dangdut di mana mereka mengalami paceklik sementara dapur rumah harus terus ngebul. Ealah, sandal jepit alias situasi terjepit!
Beberapa musisi dan pelaku dangdut mengeluhkan hal serupa kepada saya, mereka tidak dapat berbuat apa-apa—mau tak mau—selain menunggu wabah ini berakhir. Sangat apes, katanya. Namun beberapa dari mereka tidak menyerah dan tidak tinggal diam, mereka juga melakukan pelbagai upaya, seperti: latihan daring, mengaransemen musik bersama secara daring, dan lain sebagainya. Bahkan konon sang “raja” dangdut—disematkan oleh penggemar dan beberapa surat kabar serta majalah di zamannya—yang sudah jarang terdengar kesaktiannya kembali turun gunung. Tidak main-main, Ia kembali menghimpun “pasukannya” dan menciptakan lagu atas pandemi yang mengancam seluruh negeri. Lantas apakah hal tersebut akan menuntaskan masalah? Apakah justru menciptakan persoalan baru? Apakah hal tersebut dapat menyelesaikan persoalan yang dirisaukan, yakni urusan perut?
Pengelompokan Tidak Relevan, Energi Selalu Relevan
Ada yang bilang, jika Rhoma Irama sudah turun tangan membuat gerakan atau lagu—khususnya soal sosial dan kemanusiaan, bukan soal politik di era 2000-an yang diarunginya—maka persoalan tersebut adalah masalah besar. Sebut saja sikap Rhoma Irama ketika memerangi pemerintahan Suharto dan Golkar yang curang, hingga berujung pelarangan pentas dari tahun 1977 hingga 1988 oleh mantan presiden tamak tersebut. Saya benar-benar bersepakat dengan tindakan Rhoma Irama ketika itu. Bagi saya, ia lebih garang daripada Iwan Fals yang masih ambigu menyoal lagu “Bento” ditujukan untuk siapa pada Orde Baru. Sikap Rhoma Irama dan kegusarannya nyata. Melawan pemerintahan yang otoriter dengan lirik yang eksplisit adalah sikap! Saya bersepakat dengan gerakannya ketika itu. Walau setelahnya saya mundur dari barisan penggemarnya di saat Rhoma bergabung dengan Suharto dengan alasan partai yang dahulu dinaunginya sudah tidak mencerminkan keislaman yang ia inginkan, sementara menurutnya Golkar dan Suharto telah “kembali ke jalan yang benar”.
Selain itu, Rhoma juga “turun tangan” karena ihwal Inul Daratista dan goyang dangdut koplo. Bagi Rhoma, Inul tidak mencerminkan pandangan dangdut yang ia kerjakan dan merusak citra dangdut yang telah ia benahi. PAMMI sebagai corongnya juga menggaungkan jika dangdut koplo bukanlah bagian dari dangdut. Bahkan sikap anti terhadap dangdut koplo terjadi hingga kini, runyam betul urusan! Jika tidak percaya buka saja website PAMMI, di situ masih tertulis bahwa dangdut koplo bukanlah dangdut. Titah sang raja dangdut Rhoma Irama. Tentu saya tidak bersepakat dengan caranya menggunakan kekuasaan, dan jelas kami berseberangan atas hal ini, tetapi di sisi lain, saya melihat bahwa Rhoma Irama selalu “bergerak” ketika keadaan terdesak. Singkat kata, Rhoma tidak pernah bergerak untuk tindakan-tindakan remeh.
Belakangan ini sang raja dangdut kembali dibuat gusar, tetapi bukan lagi karena dangdut koplo atau persoalan lamanya, melainkan oleh virus corona. Selain usianya sudah termasuk usia rawan jika terkena covid-19, pria pelantun lagu “Begadang” ini menangkap aspirasi dan merasakan kegusaran dari kalangan dangdutnya—penambahan imbuhan -nya di sini untuk menunjukkan dangdut eranya atau rezimnya—, baik sebaya ataupun mereka yang lebih muda. Menyikapi hal tersebut, Rhoma Irama membuat video solidaritas bersama asosiasi yang dibuatnya PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia) pada tanggal 28 Maret 2020 di salah satu channel youtube RAI Musicommunica dan disebarkan melalui penyanyi yang berada di bawah naungan kelompok yang didirikan oleh Rhoma Irama tersebut, semisal Ikke Nurjanah hingga Wiwik Sagita. Jumlah ditonton dari video youtube tersebut sebesar 4.430 kali.
Selaku ketua umum PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia), Rhoma menghimbau seluruh anggotanya di seluruh Indonesia untuk tidak melakukan kegiatan musik yang menimbulkan kerumunan massa. Hal ini sesuai dengan arahan pemerintah Jokowi dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai langkah untuk mencegah penyebaran virus corona. Tidak hanya itu, Rhoma dan PAMMI turut berbelasungkawa atas “gugurnya” beberapa tim medis yang menangani virus tersebut. Pun tidak lupa, Rhoma juga mendoakan mereka untuk mendapatkan tempat di sisi yang maha kuasa. Di akhir pernyataannya, Rhoma berseru “Mari bersatu mencegah meluasnya virus corona.”
Ucapan tersebut diakhiri dengan sebuah lagu bertajuk “Rambate Rata Hayo” dengan keterangan “Dangdut Peduli Corona.” Lagu dangdut tersebut dinyanyikan oleh musisi dangdut Indonesia yang tergabung di PAMMI, yakni: Elvy Sukaesih, Mansyur S., Erie Susan, Cici Paramida, Rita Sugiarto, Evie Tamala, Kristina, Yunita Ababiel, Jhony Iskandar, Yus Yunus, Intan Ali, Hetty Soendjaya, Yan Mansyur (anak Aan Mansyur), Ais Arza, Super Emak, Ridho Rhoma, Aly Aksyar, Jacky Hasan, Anies Fitria, Ratna Anjani, Endang Kurnia, Gebby Qonita Pareira, Ikke Nurjanah, Caca Handika, Lady Rose, Nong Niken, Khalid Karim, Genta KDI, Iyeth Bustami, Iis Dahlia, Ine Chintya, Cucu Cahyati, Lilin Herlina, Mirnawati, Elvy Zubay, Shreya Maya, Tetty Safari, Yulia Citra, Kitty Nurbaitu, Murni Chania, Anies Atla, Erni Ardita, Elmira Batik, Govin, Isma KDI, Ikka Bella, Ria Mustika, Anita Dahlan, Vera Borneo, Ade Irma, Endang Triana, Endang Wijayanti, Ria Bonita, Lulu Chika, Jagad Aryani, Eka Sapta, Dian Gaul, Eko Bermano, Aidil Fikri, Dian Rose, Eva Diada, Fenty Nur, Seruni Bahar, Neneng Anjarwati, Neni anjani, Vita Jelly, Leni Widya, Boy Sahara, Iwan Karo, Asep AS, Febrian, Maya Dewi, Kiki Amera, Mariam Mustika, Tya Gopas, Yeti Harry, Wiwik Sagita, dan Ochy Marisa. Sedangkan dua musisi yang ambil peran dan terekam adalah Toenk Kenzie—mengisi iringan pada gitar melodi—dan Hendro Saky—mengisi iringan pada keyboard. Dari data di atas, sekitar 82 penyanyi dan dua musisi yang bernyanyi bersama untuk menggalang persatuan dan solidaritas di tengah badai corona. Tidak hanya berisikan kompilasi para biduan menyanyi, di dalam video tersebut turut disertakan dua informasi, yakni: (1) informasi bahwa PAMMI peduli dan (2) informasi mengenai corona, seperti: penyebaran, perawatan yang dilakukan, dan mereka yang telah berkorban untuk tetap merawat pasien di rumah sakit.
Namun saya mempunyai dua kejanggalan, pertama, Rhoma Irama hanya memerintahkan anggota PAMMI, ia tidak mewakili seluruh komunitas dangdut. Lebih lanjut, ia mewakili komunitasnya saja, PAMMI dan mereka yang bergerak dalam jalan musik yang Rhoma usung. Alhasil ia hanya melindungi “rakyatnya” saja, sedangkan mereka pemusik dangdut yang berada di luar jaringan PAMMI bukanlah tanggung jawabnya. Hal ini tentu mempertajam friksi antara PAMMI dan bukan PAMMI. Padahal dangdut telah mengalami perkembangan pesat, di mana sumber kekuatan tidak hanya pada dangdut koplo di Jawa Timur—musik yang menjadi rival Rhoma Irama—, tetapi juga pada dangdut ambyar di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Lebih lanjut, friksi lampau itu sudah usang—toh Via Vallen sudah sepanggung dengan Rhoma Irama, dan seacara dengan Nella Kharisma, biduan-biduan andalan dangdut koplo. Tidak hanya itu, friksi tersebut justru membantu saya mempertanyakan, apakah gap yang dibangun PAMMI masih relevan dengan iklim dangdut sekarang? Kedua, ketika sejumlah 84 anggotanya bernyanyi, di mana kontribusi Rhoma Irama di dalam lagu tersebut? Singkat kata, Rhoma Irama sebagai ketua umum tidak ikut melantunkan lagu yang dinyanyikan oleh anggotanya. Terlepas dari alasan kesibukan, mengapa sang “raja” dangdut tidak bersama “rakyatnya”?
Sementara pada hari Jumat (3/4) yang lalu, Rhoma justru mengeluarkan single terbaru yang bertajuk “Virus Corona”. Lagu ciptaannya itu dipublikasikan oleh label GP Records. Label yang sama dengan label yang menaungi single sebelumnya yang bertajuk “Banyak Jalan menuju Roma”. Lagu tersebut yang dirilis pada 15 Januari 2020 lalu itu sudah ditonton sebanyak 1.511.011 kali di youtube. Namun lagu tersebut kalah booming dengan single terbarunya yang sudah mencapai 2.029.085 kali ditonton selama empat hari. Pun saya mencatat jumlah penonton lagu tersebut secara spesifik, yakni dua hari rilis ditonton sebanyak 739.540 kali, dan tiga hari rilis ditonton sebanyak 1.251.610 kali. Jumlah yang drastis ketimbang lagu-lagu ciptaannya akhir-akhir ini. Di dalam lagunya, Rhoma mengajak pendengar untuk melakukan introspeksi diri dan menarik hikmah dari kejadian yang melanda ini. Dengan mood sedih yang ia tonjolkan, Rhoma ingin menyampaikan kesedihan, kegelisahan dan ketakutan masyarakat akan virus corona. Namun Rhoma tidak lupa mengajak kita untuk berserah pada Tuhan karena manusia adalah makhluk yang lemah. Tidak lupa, di dalam video yang disebarkan channel youtube GP Records, Rhoma berbusana hitam dengan membawa tasbih di tangan kirinya. Mari berserah!
Sejujurnya sudah lama saya tidak mendengar kabar akan lagu baru Rhoma Irama meledak di pasaran, pasalnya pasar lagu dangdut berkembang dan bergerak cepat. Sempat timbul kecurigaan, apakah lagu dangdut era Rhoma Irama masih bisa menembus pasar dangdut millennial ini? Ternyata melalui lagu “Virus Corona”, Rhoma kembali menorehkan namanya di lagu-lagu dangdut yang trending di youtube.com. Kendati saya menduga ada dua faktor penting yang membuat namanya kembali meledak, yakni: pertama, Rhoma mengangkat fenomena universal sehingga pendengar merasa terhubung; kedua, minimnya produksi lagu dari para musisi dangdut setelah corona menyerang. Singkat kata, lagu baru Rhoma datang di waktu yang tepat. Terlepas dari dugaan yang saya sampaikan, lagu berdurasi 2’59 detik ini juga membuktikan bahwa kepiawaiannya membuat lagu masih sama seperti dahulu kala, cerdik. Di mana lirik berangkat dari fenomena terkini. Selain itu, lagunya juga tetap bersetia dengan lirik melankolis, nada yang meliuk-liuk, tipe iringan musik a la O.M. Soneta yang bernas. Jenis lagu dangdut yang sudah jarang kita dengar belakangan, atau setidaknya menyita perhatian.
Kembali pada persoalan, hal ini tentu menarik ketika PAMMI dan anggotanya beramai-ramai menyanyikan “Rambate Rata Hayo”, sang ketua umum justru membuat lagunya sendiri “Virus Corona”. Sementara lagu “Rambate Rata Hayo” tenggelam dalam “lautan” maya, lagu dari raja dangdut meluncur ke angkasa dalam kuantitas ditonton di youtube.com. Adanya perbedaan ini justru membuat saya curiga, jangan-jangan masih adanya hierarki antara “raja” dan “rakyat” di dalam tubuh PAMMI itu sendiri. Pasalnya hierarki membuat stratifikasi yang jelas, di mana raja boleh melakukan hal tertentu dan rakyat tidak melakukannya, begitu pun sebaliknya, rakyat melakukan hal tertentu jika raja merestui. Pun saya berharap jika keadaannya tidak demikian, tetapi jika demikian, sungguh disayangkan hal tersebut masih terjadi dan hal itu juga lah yang membuat mereka (non-PAMMI) semakin besar dalam jumlah.
Terlepas dari apa pun itu, Rhoma Irama dan PAMMI telah berkontribusi dengan melakukan pernyataan sikap dan menciptakan dua lagu, yakni lagu PAMMI dan lagu Rhoma Irama. Mereka telah bersikap dan melakukan solidaritas atas wabah yang melanda. Mereka bukan pahlawan kesiangan dan hal ini patut diapresiasi. Namun yang perlu diapresiasi adalah energi dan solidaritas mereka, bukan urusan gap yang mereka rawat. Urusan gap PAMMI dan bukan PAMMI sudah tidak relevan, sementara energi dan upaya saling menjaga adalah hal yang paling relevan di masa krisis ini.
Lantas apakah rekan musisi bukan PAMMI perlu membuat sikap serupa? Tidak perlu, pasalnya yang telah dilakukan banyak musisi dangdut, seperti: latihan daring; mengaransemen musik bersama secara daring, membuat challange musik; dan lain sebagainya juga energi baik yang dapat merawat semangat antar mereka dan penontonnya untuk tidak tunduk pada Covid-19. Kendati demikian, saya bersepakat pernyataan sikap ataupun karya tidak dapat menyelesaikan persoalan (baca: urusan perut), tetapi percayalah untuk saat ini kita semua membutuhkan energi. Di masa krisis ini, kekuatan terbesar yang dibutuhkan adalah tidak putusnya energi dan dukungan antar musisi yang tercurah dengan terus berkarya (baca: work from home) dan tetap melakukan #dirumahaja. Setelah masa corona usai, mari kita dangdutan setiap hari![]