Balada Nama Belakang Kontes Bernyanyi Dangdut
Michael HB Raditya
Seorang pemuda asal Bener Meriah, Aceh, Fazul Abadi, atau yang kerap disapa Faul memenangkan Liga Dangdut Indonesia 2019. Pasca kemenangannya, terdapat nama belakang tambahan untuknya, Faul LIDA 2019. Tidak hanya Faul, dua tahun sebelumnya, pemuda asal Baubau, Sulawesi Tenggara, Fildan Rahayu memenangkan D’Academy musim keempat. Kini ia bernama Fildan D’A atau Fildan D’Academy. Di kontes yang sama, pemudi asal Cianjur, Jawa Barat yang bernama Lestyani Andryani, atau lebih dikenal dengan Lesti Kejora memenangkan D’Academy 2014. Kemenangan tidak hanya memberikannya popularitas, melainkan nama belakang, bahkan kini ia bernama Lesti D’A atau Lesti D’Academy.
Namun, hal tersebut bukan fenomena baru. Pasalnya tujuh tahun sebelumnya, tahun 2007, pemuda asal Bandung bernama Nassar Fahad Ahmad Sungkar mendapatkan posisi runner up pada Kontes Dangdut Indonesia. Pasca kompetisi tersebut, ia mengemban nama panjang Nassar KDI. Kendati kini ia telah melepas namanya, tetapi masyarakat masih kerap menautkan KDI di belakang namanya. Terlebih Nassar menggunakan nama KDI untuk berjibaku dalam meraih popularitas pasca dan di luar kompetisi, di industri musik dangdut.
Alih-alih hanya berlaku pada dangdut, sebenarnya gelagat penambahan nama belakang pasca kontes bernyanyi turut terjadi pada pelbagai genre musik lainnya yang dikompetisikan oleh televisi. Bertolok dari hal tersebut, fenomena ini cukup menarik, di mana penambahan nama belakang dari sebuah kontes bernyanyi seakan menjadi tradisi kompetisi yang diselenggarakan televisi. Namun hal yang menggelitik, seberapa penting nama belakang kompetisi untuk para peserta?; Apa yang menciptakan terjalinnya nama belakang untuk peserta?; Dan, bagaimana nama belakang tersebut mempunyai pengaruh pada para peserta yang sudah menjadi biduan, biduanita, serta penyanyi sebelumnya?
Fenomena Nama Belakang
Pada tradisi masyarakat Jawa, jika seorang laki-laki atau perempuan ingin mengganti, mengubah, mengurangi, atau menambah nama maka perlu diadakan sebuah acara ruwatan. Lazimnya ruwatan dilakukan jika seorang anak sakit secara terus menerus, dan hal tersebut kerap dipercaya sebagai keabotan jeneng (keberatan nama). Setelah mengubah namanya, dengan bancakan dan jenang abang putih, anak tersebut dipercaya akan lebih sehat dari sebelumnya.
Sedangkan kini, seorang laki-laki atau perempuan berusia remaja atau dewasa sehat walafiat mengikuti sebuah kompetisi. Individu tersebut memenangkan kompetisi, bahkan ia turut mengemban nama belakang baru pada namanya. Sebagai contoh, beberapa menyingkat nama aslinya dan memadankannya dengan nama belakang tersebut, semisal: Faul LIDA, Fildan D’Academy, Nassar KDI, Putri Jamila BP5, Nilah Fauzista BP5, dan lain sebagainya.
Dari dua contoh di atas, memang kedua contoh perubahan nama tersebut berbeda konteks dan kekekalan nama. Untuk kekekalan nama dan bagaimana nama itu digunakan, hasil pergantian nama hasil dari ruwatan akan berlangsung di sepanjang hidupnya. Oleh karena berlaku di sepanjang hidupnya, maka nama tersebut akan tertulis di nota atau Kartu Tanda Penduduk. Hal ini berbeda dengan tambahan nama hasil dari kompetisi menyanyi, di mana ada beberapa yang terus menggunakan nama belakang di sepanjang kariernya, tetapi ada beberapa partisipan yang tidak menggunakannya setelah melonjak kariernya—semisal Nassar yang melepas nama KDI-nya ketika mendapatkan ketenaran. Biasanya, penambahan nama belakang akan ditegaskan pada sosial media dari para biduan atau biduanita.
Bertolak dari kekekalan nama, nama hasil ruwatan dan kompetisi ini mempunyai sebuah kesamaan. Bagi penggantian nama di masyarakat Jawa, hal ini dilakukan guna mendapatkan keselamatan atau keberuntungan, sedangkan untuk kompetisi, para pemenang menggunakan nama belakang untuk keberuntungan dan karier bernyanyinya. Singkat kata, hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan dari sebelumnya.
Balada Nama Belakang Biduan/Biduanita Kompetisi
Seorang perempuan atau laki-laki yang belum pernah bernyanyi sebelumnya mengikuti sebuah kompetisi, lalu ia memenangkan kompetisi tersebut. Ia mengemban nama belakang dari kompetisi tersebut. Pasca kemenangannya, ia digemari oleh masyarakat luas. Barusan adalah ilustrasi omong kosong untuk para peserta kompetisi menyanyi yang bertahan atau memenangkan juara jika ia tidak pernah mempunyai pengalaman menyanyi sebelumnya.
Namun mitos inilah yang dijaga penyelenggara sehingga para peserta kompetisi terus bertambah dari tahun ke tahun, entah apa tajuk dari acara tersebut. Pelbagai jargon, seperti “semuanya bisa menjadi juara”, ataupun “kamu adalah pemenangnya”, dan sebagainya, seakan menyihir para penonton untuk tidak lelah mencoba dan berpartisipasi, serta penggemar untuk terus bertahan dan berharap pada peserta jagoannya.
Sedangkan para pemenang, bukan sebuah rahasia jika mereka semua sudah mempunyai pengalaman bernyanyi sebelumnya. Sebut saja Lesti D’Academy yang sudah sejak kecil menjadi sinden; Faul LIDA yang kerap menyanyi musik tradisi Sebuku; Fildan yang mempunyai latar belakang keluarga pemusik; ataupun Putri Jamila yang telah menyanyi sebelumnya dan kerap mengikuti kompetisi tarik suara. Singkat kata, mustahil jika mereka mengikuti dan memenangkan kompetisi tanpa persiapan dan pengalaman. Bahkan kerap kali, peserta yang kelak menjadi pemenang telah dikenal oleh masyarakat setempat.
Alhasil dapat dibayangkan jika seorang biduan atau biduanita mengikuti kompetisi dangdut, semisal Bintang Pantura ataupun Liga Dangdut. Sedangkan Biduan atau biduanita tersebut sudah tenar sebelumnya di areanya masing-masing, semisal Sidoarjo, Tegal, Ciamis, Majalengka, ataupun lainnya. Dengan demikian, ia sudah dikenal masyarakat pada tingkat lokal. Lantas sang biduan atau biduanita mengemban nama belakang kompetisi tertaut pasca kompetisi, baik memenangkan kompetisi atau bertahan hingga delapan besar sekalipun. Sekembalinya dari kompetisi dan mempunyai nama belakang, biduan atau biduanita tersebut kembali menyanyi di tingkat lokal—dan sesekali bernyanyi di Jakarta.
Dari hal di atas, dengan tampil di kompetisi televisi nasional, biduan atau biduanita tersebut percaya bahwa kompetisi dapat menaikkan level mereka, dari lokal ke level nasional. Pun saya tidak dapat menyangkal bahwa banyak biduanita dan biduan di daerah memang mempunyai cita-cita atau menargetkan dirinya untuk berkiprah di level nasional, atau lebih tepatnya di televisi nasional. Semisal di Jawa Timur, banyak biduanita dan biduan menargetkan dirinya tampil tidak hanya di panggung live acara masyarakat, tetapi juga tampil di JTV—Jawa Pos Media Televisi—, salah satu stasiun Surabaya yang menampilkan acara dangdut secara berkala, dan selanjutnya adalah televisi nasional. Mereka seakan membuat step by step untuk menuju popularitas sebagai biduan-biduanita tanah air. Alhasil, televisi masih dipercaya dapat memberikan popularitas yang tinggi, dan Jakarta masih dianggap dapat mengubah hidupnya kelak.
Lantas apa yang mereka dapatkan ketika sudah mengemban nama belakang kompetisi? Saya tidak dapat mengatakan bahwa nama belakang tidak mempunyai dampak apa pun dari karier para biduan atau biduanita. Toh di beberapa panggung live, nama belakang dari biduan-biduanita tertulis besar di pelbagai spanduk ataupun poster di sosial media. Hal tersebut seakan menjadi harga jual tambahan untuk popularitas sang biduan-biduanita.
Namun untuk soal pendapatan dan kualitas bernyanyi, hal tersebut belum tentu dapat dipastikan. Untuk soal kualitas suara, hal ini perlu dikembalikan kepada tutor menyanyi mereka selama kompetisi. Namun yang menjadi pertanyaan, seberapa sinergisnya tutor menyanyi dengan para peserta? Pasalnya peserta dari Pantura tidak akan sinergis dengan tutor yang berlatar teknik vokal pada dangdut klasik, terlebih sang peserta akan dipaksa menurut. Dengan kata lain, ketepatan tutor dengan latar belakang peserta perlu ditilik lebih lanjut. Soal lainnya, apa yang dapat diharapkan dari kompetisi yang berlangsung dalam hitungan minggu atau bulan? Lebih lanjut, mengubah kebiasaan atau habitus membutuhkan intensitas yang padat secara kualitas, sedangkan program televisi sudah barang tentu jauh panggang dari api.
Sedangkan soal pendapatan pasca mengemban nama belakang, hal ini tentu menjadi persoalan lainnya. Terlebih ketika biduan-biduanita tersebut kembali berkiprah pada tingkat lokal, di mana para agent yang berkecimpung—semisal orkes melayu—sudah bergaul dengan sang biduan-biduanita sebelumnya. Alhasil menaikkan harga jual dari biduan-biduanita menjadi persoalan yang tidak mudah. Belum lagi jika terdapat beban hutang budi, di mana orkes melayu tertentu telah mengorbitkan biduan-biduanita tersebut jauh sebelum ia masuk ke kompetisi televisi. Dampak dari hutang budi ini adalah pada negosiasi harga yang lebih menguntungkan pihak orkes. Pada beberapa kasus, harga dari biduan atau biduanita tidak berubah.
Dari contoh tersebut, kita dapat melihat bahwa nama belakang akan mendongkrak karier peserta adalah mistifikasi yang dibuat oleh perusahaan televisi. Bahkan di beberapa panggung live di kota-kota selain Jakarta, para juara kompetisi harus disandingkan dengan biduan-biduanita lokal. Formasi juara kompetisi dan biduan-biduanita lokal pun tidak dilakukan dalam kuantitas yang kecil, justru sebaliknya, mereka kerap kali menggunakan formasi tersebut. Hal ini kiranya kerap mengganggu saya dalam pikiran, lantas untuk apa kompetisi diadakan, jika formula juara kompetisi dan biduan-biduanita lokal dilakukan? Singkat kata, mereka tetap kalah populer dengan biduan-biduanita yang memilih setia berjuang di karier lokal mereka, semisal Nella Kharisma, Ratna Antika, Jihan Audy, Uut Selly, Imelda Veronica, dan lain sebagainya.
Pemenang Sebagai Produk
Pada industri musik atau industri hiburan, korporat di Indonesia memang tidak berhenti mencari dan mengeksploitasi masyarakat dan impiannya. Mereka tidak secara tulus menaikkan harkat dan martabat masyarakat, melainkan lagi-lagi hanya untuk keuntungan semata. Pasalnya pada medio 1990, televisi di banyak belahan dunia meyakini bahwa penonton lebih menyukai konten domestik dan regional ketimbang program asing (Waisbord, 2004: 369). Hasilnya Coutas mencatat bahwa, pada tahun 1999, stasiun televisi di Indonesia memiliki lebih banyak konten ‘lokal’ daripada sebelumnya (via Ariel, 2008: 114). Tertaut dengan hal tersebut, kita dapat menilik kembali bahwa kompetisi bernyanyi marak pada pertengahan tahun 2000-an, ditandai dengan banyaknya kontes menyanyi, seperti: Kontes Dangdut Indonesia, Akademi Fantasi, Indonesia Idol, dan lain sebagainya.
Kontes bernyanyi tersebut lantas “mengadu” para peserta secara berkala hingga melahirkan seorang juara, seorang idola. Idola [atau juara], sebagai objek buatan, biasanya seseorang yang mempunyai bakat, prestasi, status, atau penampilan fisiknya yang secara khusus diakui dan dihargai oleh para penggemarnya (Lin dan Lin, 2007; Wang et al., 2009). Dengan dua syarat tersebut, standar kompetisi dan digemari penonton, penyelenggara kompetisi telah menciptakan idola.
Namun kemenangan para peserta dari kompetisi menyanyi tidak hanya memenangkan dirinya sebagai juara, melainkan menciptakan dirinya sendiri sebagai produk dari kompetisi. Produk yang dapat digunakan oleh dirinya sendiri, penyelenggara, ataupun masyarakat sekitar. Sebagaimana produk, maka industri menjadikan mereka sebagai komoditas. Sebagai komoditas, idola adalah produk yang dipasarkan dengan hak mereka sendiri atau digunakan untuk memasarkan komoditas lain, semisal: potensi iklan, potensi menjadi duta, dan lain sebagainya (via Ariel, 2008: 116).
Alih-alih komoditas hanya tersurat pada iklan dan dilakukan oleh pihak penyelenggara, para peserta hingga juara turut melanggengkan komoditas tersebut. Penggunaan nama belakang adalah salah satu contoh yang dapat disadari dengan cepat. Di mana nama akun para peserta kompetisi di platform instagram tertulis sebagai berikut: @faul.lida2019 (Faul Abadi dari Liga Dangdut 2019), @nilah_fauzista_bp5 (Nilah Fauzista dari Bintang Pantura 5), @evakharismabp4 (Eva Kharisma dari Bintang Pantura 4), @da4_fildan (Fildan Rahayu dari D’Academy 4), dan masih banyak lainnya. Mereka menyematkan nama tersebut sebagai kata kunci ketika dirinya dicari di media sosial.
Mereka laiknya sebuah produk hidup dari kompetisi, dan secara tidak langsung, mereka turut memasarkan kompetisi di mana pun berada. Pun tidak dipungkiri bahwa nama belakang kompetisi kerap membantu mereka dikenali dengan cepat. Hal ini kiranya senada dengan pernyataan Coutas, di mana idola mewakili sesuatu selain dirinya sendiri. Tanda-tanda yang mewakili kepribadiannya lebih khusus, kepribadian yang diberi makna budaya tinggi dalam dunia sosial [berkat kompetisi] (via Ariel, 2018: 117). Lebih lanjut peserta hingga pemenang dianggap mempunyai nilai lebih sekaligus pembeda untuk mereka yang telah berkompetisi dan yang tidak.
Mereka tidak lagi individu bebas, mereka tidak dipandang sama dengan kediriannya sebelum mengikuti kompetisi, karena mereka telah menambahkan status lain pada kediriannya. Sederhananya, para peserta dan pemenang mengemban nilai lebih, yakni sebagai representasi kompetisi, atau dengan bahasa yang lebih jujur, mereka tidak lebih dari sekadar produk. Namun tiada keliru menjadi produk selama dirinya punya harga jual untuk ikut membawa pesan tertentu, semisal: mengangkat kedaerahan, hingga estetika lokal yang mereka punya. Hal ini kiranya akan menjadi negosiasi yang menarik dalam lanskap industri hiburan yang fana nan remeh.[]
Referensi
Coutas, Penelope. 2008. “Fame, Fortune, Fantasi: Indonesian Idol and the new celebrity”, dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, dalam Ariel Heryanto. London: Routledge: Taylor and Francis Group.
Lin, Y.-C. and Lin, C.-H. (2007), “Impetus for worship: an exploratory study of adolescents’ idol adoration behaviors”, Adolescence, Vol. 42 No. 167, halaman 575– 88.
Waisbord, S. (2004) ‘McTV: Understanding the global popularity of television for- mats’, Television & New Media, 5 (4): 369.
Wang, C.-C., Chen, C.-T., Yang, S.-C. and Farn, C.-K. (2009), “Pirate or buy? The moderating effect of idolatry”, Journal of Business Ethics, Vol. 90 No. 1, halaman 81–93.