Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Dangdut Didaftarkan ke UNESCO
Michael HB Raditya
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno mengungkapkan ke publik jika akan mengusulkan musik dangdut sebagai warisan budaya Indonesia kepada UNESCO pada rabu (17/2). “Dangdut is the music of my country. Sekarang kita relaunching untuk memasukkan dangdut sebagai bagian daripada music heritage di UNESCO”, ungkap Sandiaga Uno.
Atas usulan tersebut, Sandiaga Uno ingin membuat dangdut sebagai musik khas Indonesia yang dikenal tidak hanya di dalam negeri, tetapi dunia. Uno mengatakan, “Jadi kalau Amerika punya Hollywood, Korea punya K-Pop, sudah saatnya Indonesia punya dangdut sebagai music of my country.” Tentu pandangan Uno mengenai dangdut sebagai music of my country tidak keliru, pasalnya dangdut memang memiliki peluang tersebut. Di mana dangdut memiliki perjalanan musik yang tidak sebentar. Dengan kata lain, melalui musik dan goyangnya, Dangdut niscaya telah menemani perjalanan bangsa Indonesia dari era ke era.
Terkait rencana pengajuan musik dangdut ke UNESCO, Uno mendapatkan dukungan dari Direktorat Jenderal Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia. Pun hal ini tidak mengagetkan, mengingat budaya memang menjadi cara ampuh untuk berdiplomasi. Jika kembali pada sejarah, langkah diplomasi budaya memang sudah dilakukan sejak Presiden pertama kita, Ir. Sukarno. Di eranya, bapak proklamator acap mengirimkan seniman untuk mengikuti misi kebudayaan di pelbagai belahan dunia. Singkat kata, kekayaan budaya digunakan Ir. Sukarno sebagai cara berdiplomasi.
Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebudayaan turut mendapatkan porsi yang besar. Beberapa hal yang penting untuk pertumbuhan kebudayaan kita digalakkan olehnya. Beberapa hal yang tercipta adalah Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dan Dana Abadi Kebudayaan. Hal ini tentu menguntungkan aspek kebudayaan dalam bertumbuh kembang. Maka langkah Sandiaga Uno sinergis dengan visi presiden, di mana kebudayaan tidak hanya mendapat perhatian lebih, tetapi juga menjadi andalan negara.
Namun Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perlu menyiapkan matang-matang rencananya, agar warisan budaya Indonesia memang terjewantahkan pada musik dangdut dan pengakuan UNESCO kelak dapat benar-benar berdampak pada perlindungan dan perkembangan musik dangdut serta ekosistemnya, tidak terkecuali.
Dangdut milik Bersama
Satu pertanyaan yang terbetik dari rencana Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif adalah seberapa mendalam pemahamannya akan dangdut. Pasalnya, pemahamannya akan dangdut akan berpengaruh pada apa, siapa, dan bagaimana dangdut diajukan. Hal ini menjadi penting, pasalnya Sandiaga Uno perlu mengetahui dangdut dengan pelbagai kompleksitasnya. Salah satunya adalah kontestasi antar sub-genre yang berkembang pada dangdut, yakni dangdut koplo yang kerap dilawankan dengan dangdut. Pahitnya, dangdut koplo lebih sering mendapat stigma buruk, bahkan dianak-tirikan oleh kalangan dangdut. Padahal tidak dapat disangkal jika bertahannya dangdut di era milenium berkat kehadiran dangdut koplo.
Dampak dari hal tersebut adalah akan tercipta pelanggengan eksklusivitas pada dangdut. Hal ini akan mendorong dangdut sebagai sesuatu yang dimiliki satu kalangan saja. Sementara kalangan yang dianggap bukan bagian darinya akan tersisihkan. Lebih buruk lagi, kelak akan muncul dikotomi, yakni musik dangdut dan bukan musik dangdut. Walau sub-genre tersebut berasal dari akar yang sama sekalipun. Tidak berhenti sampai di situ, ekslusivitas akan memunculkan kanonisasi pada agen tertentu. Sementara sang agen akan menjadi dominan dan sangat mudah mereproduksi narasi untuk keperluan kelompoknya. Dampak dari hal ini adalah “jarak” yang semakin kokoh dan persoalan yang akan terus dirawat.
Apabila konflik ini tidak dipahami oleh pihak pengaju, sementara ia lebih bersepakat untuk membawa narasi dangdut yang mengunggulkan satu kalangan, maka sejatinya mereka telah mengingkari hakikat kebudayaan, yakni kebudayaan bersifat dinamis. Padahal di lapangan, dangdut memang telah menjadi budaya musik masyarakat karena ia terus berlangsung dari tahun ke tahun. Tidak hanya terjadi di ibukota, seperti dengan dangdut India pada era 1960-an ataupun dangdut rock seperti yang dilakukan Rhoma Irama; tetapi juga terjadi di pelbagai daerah lain, semisal dangdut koplo di Jawa Timur—mulai dari era Inul Daratista, Ratna Antika, Via Vallen, hingga Nella Kharisma; dangdut ambyar di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, seperti Denny Caknan, OM Wawes, Ndarboy Genk, Guyon Waton, dan lain sebagainya; ataupun dangdut di luar Jawa, semisal Dangdut Banjar, Saluang Dangdut, Dangdut Melayu, dan seterusnya.
Alih-alih hanya menemani masyarakat, dangdut juga merasuk pada aktivitas kehidupan berbudaya, semisal dipentaskan pada acara siklus hidup (seperti ulang tahun, khitanan, perkawinan, naik haji, dan lain sebagainya) ataupun acara publik (seperti ulang tahun kota, acara 17 Agustusan, perayaan perusahaan, dan masih banyak lainnya). Singkat kata, dangdut tidak lagi sebatas alunan bunyi, tetapi medium ekspresi sekaligus representasi diri ataupun kelompok. Sampai pada pengertian ini, dangdut sudah layak didaftarkan menjadi warisan dunia budaya Indonesia pada UNESCO. Namun, jikalau kedinamisan dangdut diingkari—dengan “menghilangkan” salah satu perkembangan dari musik dangdut—, maka pengertian dangdut sebagai budaya tidak lagi utuh.
Pasalnya, kita perlu menilik dari beberapa kebudayaan Indonesia yang telah terdaftar di UNESCO, semisal batik. Salah satu hal terpenting mengapa batik terdaftar di UNESCO bukan karena batik sebagai produk, melainkan batik sebagai budaya. Lebih lanjut, batik diakui karena proses dan ilmu membatik yang dapat tertransimisikan dari generasi ke generasi. Sedangkan proses pengartikulasian dari generasi ke generasi tentu dengan mempertimbangkan perubahan dan perkembangannya. Dari logika tersebut, sudah barang tentu jika dangdut tidak dapat diajukan ke UNESCO sebagai produk bunyi, melainkan mengartikulasikan dangdut sebagai budaya yang tumbuh bersama masyarakat.
Ketika membicarakan tumbuh, maka mengurai perjalanan dangdut dan menunjukkan bagaimana dangdut menjadi budaya adalah formulasi ideal dari pengajuan ke pihak UNESCO. Dengan begitu, pengajuan dangdut sebagai Warisan Dunia Budaya Indonesia benar-benar tepat sasaran dan mewakili seluruh penggiat dangdut. Karena jika tidak dilakukan, lebih baik Kemenparekraf mengurungkan niat untuk mengajukan dangdut sebagai warisan budaya Indonesia. Karena buat apa diakui UNESCO, tetapi mereka yang di dalamnya tidak mengakui sesama; atau buat apa diakui dunia, apabila tiada perasaan aman, setara, dan berdaya untuk mereka yang berada di dalamnya.[]
Michael HB Raditya
Naskah diterbitkan pada 22 Februari 2021.