Judul: Goyang Aksara
Editor: Udji Kayang A.S. dan Bandung Mawardi
Jenis Buku: Kumpulan tulisan dangdut
Jumlah Halaman: 102 halaman
Tahun terbit: 2018
Penerbit: Bilik Literasi
Pengantar:
Musik dangdut di Indonesia sudah mendarah daging. Hampir seluruh lapisan masyarakat baik di desa maupun kota pernah bersentuhan dengan musik dangdut. Di kota, dangdut menjelma menjadi semacam kompetisi pencarian bakat. Kita bisa menyebut itu sebagai upaya proteksi dangdut dari musik-musik K-Pop (Korea), lagu Barat, atau sejenisnya. Sedangkan di desa, dangdut lebih merasuk dalam relung masyarakat. Hampir setiap kegiatan, kerja bakti, acara nikahan, kampanye, sampai dies natalis sekolah, melibatkan musik dangdut.
Sentuhan dengan musik dangdut memang layak untuk dibukukan. Hal ini berguna untuk melihat sejauh mana musik dangdut dilagukan dan didengarkan oleh masyarakat. Bisa jadi, musik dangdut malah jadi cambuk untuk giat melakukan hal-hal yang produktif. Bisa jadi juga, mendengar musik dangdut justru mengingatkan pada seseorang. Duh!
Saya harus menyebut nama Udji Kayang Aditya Supriyanto dan Bandung Mawardi sebagai editor salah satu buku tentang musik dangdut. Buku itu diberi tajuk Goyang Aksara. Tajuk sederhana, tidak berbelit, tapi membuat penasaran pembaca. Cover memilih gambar bagian belakang truk, ada lukisan biduan wanita lengkap dengan kalimat ‘Buka Sithik Joss…! Cover itu boleh dimaknai bahwa musik dangdut lekat dengan pekerja berat.
Buku ini berisi tujuh belas esai, termasuk dari dua editornya. Keduanya merangkap jadi kontributor esai di buku ini. Sebagai legitimasi buku dangdut, buku ini menggaet kerjasama dengan Orkes Melayu Monata—tertulis di halaman awal. Nama orkes ini sudah akrab di telinga masyarakat, khususnya di daerah Jawa Timur. Saya sedikit sangsi, karena buku ini tidak memuat satu esai yang khusus bercerita tentang Orkes Melayu Monata.
Esai-esai di buku ini pun tidak berkutat pada sisi formalisme dangdut. Tidak ada yang membahas kapan sejarah musik dangdut ada di Indonesia, bagaimana syarat sahnya sehingga sebuah musik disebut musik dangdut dan bukan musik dangdut, atau seperti apa pendapat ulama dan tokoh masyarakat perihal hukum mendengarkan musik dangdut. Semua pertanyaan itu tidak ada jawabannya di buku ini. Buku ini justru menelisik pengalaman dan pengamatan tiap penulis perihal musik dangdut. Dengan begitu, pembahasan musik dangdut malah menyasar ke hampir seluruh lini yang digeluti oleh masyarakat, mulai dari ekonomi, transportasi, status sosial, identitas, bahkan humor yang ternyata juga pernah dimiliki musik dangdut.
Dua esai dengan judul ‘Berdangdut di (Luar) Kampus’ dan ‘Dangdut, Mahasiswa, Perlawanan’ menjadi esai pembuka dalam buku ini. Esai yang ingin menggugat dunia kampus. Musik dangdut yang tidak sepi peminat ternyata belum mampu jadi daya tarik untuk dikaji dan dijadikan wacana keilmuan. Narasi sejarah maupun dinamika perkembangan dangdut sering tidak dilirik (hlm. 12) oleh warga kampus. Dangdut memang bukan selera kaum intelektual.
Musik dangdut justru diapresiasi dan diberi ruang di media, baik online maupun cetak. Relasi keduanya saling menguntungkan. Media memberi ruang agar dangdut dikenal oleh khalayak luas, sedangkan dangdut memberi media warna berbeda dengan unsur lokalitas. Dangdut di media tambah bergairah lagi di era kemudahan akses melalui internet.
Esai ‘Dangdut di Televisi’, ‘Dangdut di Mata Mbah Google’, dan ‘Dangdut: Kitab Suci dan Humor’ mengulas kiprah dangdut di media. Tempo edisi 30 Juni 1984 memberitakan dangdut dengan diksi menyanjung. Rhoma Irama dinobatkan sebagai Raja Dangdut Indonesia dengan 15 juta penggemar (hlm. 82). Kepopuleran dangdut tidak mandek setelah era itu. Google memberi jawaban musik dangdut lebih diminati daripada musik pop setiap pekannya (hlm. 27). Dangdut berkontribusi, tapi kadang lepas dari tepuk tangan dan apresiasi.
Namun eksistensi dan moncernya musik dangdut tidak hanya bergantung pada media dan Rhoma Irama. Musik dangdut melibatkan biduan, pemusik, pakaian yang dikenakan, lagu yang dibawakan, kolaborasi dengan genre musik lainnya, tak ketinggalan juga goyangannya. Ragam goyangan diciptakan, mulai goyang ngebor, goyang gergaji, goyang itik, goyang dumang, dan goyang-goyang lainnya. Selain untuk daya pikat kepada penikmat, goyang-goyang ini juga mengajak taruhan perihal citra positif para biduan (hlm. 49-51). Bergoyang bisa membuat biduan jauh dari diksi saleha. Ulasan ini bisa ditemui di esai ‘Goyang-Goyang Dangdut’. Konten dengan tema serupa bisa disimak di esai ‘Kelakar Hip Hop Dangdut’, ‘Tiga Detik Penentu’, dan ‘Menjeda Dangdut’.
Musik dangdut juga tak mengenal tempat. Musik dangdut bisa mengelabuhi rasa takut, begitu pun bisa juga digunakan untuk merayakan suka cita. Bukan karena alunan gendang, enaknya lagu, dan moleknya biduan, melainkan mudahnya menghadirkan musik dangdut (hlm. 55) di tengah-tengah warga tanah air. Esai ‘Di Bus, Mendoa Sembari Berdangdut’ dan ‘Menikah, Berpesta, Berdangdut’ memberi informasi bahwa dangdut boleh dinikmati dan didendangkan tanpa merujuk siapa, kapan, dan di mana.
Tiga esai selanjutnya, ‘Jawa Bergoyang Dangdut’, ‘Dangdut, Identitas, Kemiskinan’, dan ‘Ikhtiar Dangdut Mengislamkan Jawa’ mengulas musik dangdut yang tidak hanya sekadar musik, melainkan musik yang sarat dengan hal-hal tersirat. Merujuk istilah yang digunakan Rolland Barthes, konotasi musik dangdut (kemungkinan) ada pada tiga esai ini. Penyelidikannya agak mendalam, meski tidak masuk wilayah ilmiah yang harus melakukan obervasi dan detail-detail referensi.
Simak pernyataan ini, “Dangdut diposisikan sebagai budaya rendah. Dalam selera permusikan segregasi itu dimunculkan: dangdut adalah kampung(an), norak, masyarakat menengah-miskin. Sementara pop dan yang dianggap mewakili selera tinggi terhormat (budaya elit) adalah jazz, musik yang sejatinya lahir dari perlawanan orang-orang miskin kulit hitam di Amerika Serikat” (hlm. 67). Musik dangdut bicara status sosial. Pernyataan itu perlu diralat. Bahwa musik dangdut didendangkan dan dinikmati oleh kebanyakan manusia menengah ke bawah, itu iya. Namun itu sifatnya kasuistik, tidak bisa digeneralisir. Banyak biduan yang kaya, pemain musik dan produser yang tajir, begitu pun banyak juga penikmat dangdut yang memiliki dompet tebal.
Sedangkan tiga esai penutup, ‘Demam Dangdut’, ‘Dangdut Bercerita Keluarga’, dan ‘Tercebur Dangdut’ berisi kisah semacam curhatan. Musik dangdut sudah diakrabi si penulisnya sejak dini. Meski saya yakin si penulis –di masa lalu- tidak menahu arti musik dangdut dan bertanya-tanya, tapi esai yang ditulis memaksa menguak memori berkepanjangan dari masa silam.
Begitu konten esai-esai di buku Goyang Aksara. Tapi sayang, beberapa literatur yang dikutip di tiap-tiap esai tidak diserat ulang di bagian belakang buku. Begitu pun juga tata letak tiap paragrafnya tidak rapi. Apa karena tajuk buku menggunakan diksi goyang? Sehingga paragrafnya juga harus digoyang (tidak rapi). Saya rasa tata letak ini memengaruhi seni membaca. Selain itu, beberapa esai juga terkesan memaksa untuk jadi. Esai belum menunjukkan paragraf selesei, tapi sudah dipungkasi.
Selebihnya, buku ini memberi wawasan baru bagi pembaca. Menggugah keinginan lebih mendalam perihal musik dangdut. Saya rasa, umat Indonesia perlu bersyukur, dangdut telah tumbuh subur sekaligus bisa menghibur. Musik dangdut tetap mengajak riang dan berdendang, meski kenyataan kerap mencekik dan menendang. Demikian.