Eksotisme Musik Dangdut Bagi Kelompok Gay Indonesia di Paris

Prancis Dangdut

Eksotisme Musik Dangdut Bagi Kelompok Gay Indonesia di Paris

Wisnu Adihartono

 

Musik dangdut identik dengan Indonesia dan diperdengarkan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Mungkin kalimat yang saya buat bukanlah kalimat yang kosong karena apabila kita sedang berjalan di seluruh kepulauan Indonesia, kita paling tidak selalu mendengar orang yang sedang mendengarkan musik dangdut dengan segala jenis, dari musik dangdut yang terbilang kuno sampai musik dangdut koplo. Musik dangdut menjadi identitas kelompok karena liriknya yang begitu kental merepresentasikan karakter pencipta dan khalayak penikmatnya. Ada sifat-sifat musik dangdut yang tidak bisa ditemukan di musik India atau Melayu, salah satunya adalah tema yang begitu dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia (Weintraub, 2010).

Genre musik dangdut merupakan sesuatu yang peka dan berguna untuk melihat masyarakat Indonesia. Persambungan antara dangdut dan rakyat terjadi pada tiga tataran yaitu: 1) dangdut adalah rakyat, 2) dangdut untuk rakyat, 3) dangdut sebagai rakyat. Rhoma Irama pernah mengatakan bahwa musik dangdut dikonstruksi sebagai cerminan alami rakyat (Weintraub, 2010). Pada zaman Rhoma Irama dapat ditemukan pesan-pesan positif yang disampaikan melalui musik dangdut. Pergeseran pun terjadi ketika Inul Daratista muncul. Fenomena Inul membuat anggapan bahwa musik dangdut adalah musik yang kampungan, norak, dan erotis. Musik dangdut dianggap hanya menampilkan goyangan daripada musik. Banyaknya artis-artis dangdut yang tampil berciri khas sensual seperti “goyang itik”, “goyang gergaji”, “goyang patah-patah”, “goyang ngebor” mulai mewarnai industri musik dangdut di televisi sehingga muncul beragam kontroversi yang akhirnya menganggap dangdut sebagai sarana eksploitasi seksualitas. Selain itu dangdut juga diidentikkan sebagai musik kampungan, ndeso dan selera musik kelas bawah.

Pada dasarnya tulisan ini tidak akan membahas bagaimana musik dangdut berbunyi akan tetapi pada tulisan ini penulis hanya akan mengintip bagaimana pandangan para gay Indonesia di Paris terhadap fenomena musik dangdut. Sebenarnya penulis tidak memiliki keinginan untuk bertanya bagaimana pandangan mereka terhadap musik dangdut akan tetapi pada saat penulis melakukan penelitian doktoral untuk bidang sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Perancis dari tahun 2010 sampai tahun 2015, penulis secara tidak sengaja memberikan pertanyaan yang cukup singkat tentang musik dangdut. Gimana sih lo melihat musik dangdut?, Lo suka musik dangdut gak?, Lho kalau gak suka kenapa?, Enak ya musik dangdut?, hanya empat pertanyaan tersebut yang keluar dari mulut penulis. Dalam hal ini penulis juga tidak bertanya kepada 25 gay Indonesia yang ditemuinya karena pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan inti dari penelitian penulis tentang migrasi dan dukungan keluarga. Penulis hanya bertanya kepada lima gay Indonesia yang sudah sangat akrab sehingga narasi yang akan keluar pada tulisan ini akan sedikit vulgar.

Saya menemui Aditya (bukan nama sebenarnya) di sebuah kedai minum kopi tidak jauh dari apartemennya. Saat itu Paris sedang musim panas. Adit hanya memakai kaos oblong, celana setengah lutut, dan sandal jepit. Adit, begitu Ia dipanggil, adalah seorang gay Indonesia yang sangat maskulin. Kami memesan kopi dan Adit mulai menyalakan rokoknya. Pembicaraan kami sangat akrab dan cukup lama. Di tengah-tengah perbincangan kami, saya bertanya apakah Ia suka musik dangdut. Lalu sambil tertawa kecil, Adit berkata hahaha gak lah, najis gue denger musik dangdut. Lo kan tau kalau dangdut tuh siapa yang denger. Ya jelas bukan gue. Gue udah di Paris nih masih denger musik dangdut, aduh apa gak ada pertanyaan lain?. Dengan santainya saya lalu bertanya dengan mencoba tertawa namun perasaan saya sedikit terganggu, kenapa lo gak suka? Kan enak bisa goyang. Dengan muka setengah kesal, Ia menjawab, ya iyalah gue kesel pertanyaannya kok tentang musik itu. Pokoknya gue gak suka ama musik dangdut, mau itu ada goyang macan kek, goyang kontol kek, goyang goyang apa lagi lah namanya, gue tetep gak suka.

Keesokan harinya saya bertemu kembali dengan gay Indonesia lainnya. Ia adalah gay feminim. Cinnn, apa kabar nekkk? Aduhhh udah gede ya kandungannya hahahaha, kata Cinta (bukan nama sebenarnya). Ia mengelus-elus perut saya yang agak besar lantas Ia mengatakan bahwa saya harus menaruh nama Cinta untuk semua wawancaranya. Kenapa?, kata saya. Ia menjawab sambil tertawa terbahak bahak, karena Cinta selalu menunggu Rangga di Paris hahahaha. Ya Allah mak hari gini masih ngomongin musik dangdut? Gimana ya? Gue gak suka ama tuh musik. Orang-orangnya norak abis, kalau pake baju kayaknya gak banget deh, terus musiknya aduh gue gak bisa deh dengernya. Enakan juga musik house gitu. Pokoknya gue gak suka deh sama musik dangdut, ujarnya. Lalu saya bertanya kembali mengapa Ia tidak suka dengan musik dangdut dan Ia menjawab bahwa musik dangdut adalah musik yang tidak enak didengar terlebih lagi musik dangdut sangat suka mengumbar patah hati. Cinta mengidentikkan musik dangdut seperti musik yang tidak memiliki identitas. Musik dangdut itu adalah musik yang gak punya identitas, ujarnya. Masak yang gue denger nih ya musik dangdut itu isinya cuma patah hati lah, umbar-umbar badan cewek lah, tambahnya.

Dari hasil percakapan dengan Aditya dan Cinta maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa musik dangdut selalu berkonotasi kampungan dan diidentikkan dengan sesuatu yang tidak benar. Banyak tayangan dangdut di media massa saat ini memang menampilkan musik dangdut sebagai musik yang erotis dan dengan baju-baju yang terlihat norak. Dalam konteks konstruksi media massa, penyanyi dangdut telah diubah identitasnya sebagai penyanyi dangdut yang erotis dan menunjukkan sisi sensual pada setiap penampilannya. Identitas seorang penyanyi dangdut yang baru terletak pada goyangan yang seksi dan senyuman yang sensual (Oetomo, 2003). Musik dangdut sering diasosiasikan sebagai musik kalangan bawah, musik rakyat, tidak elit, erotis, dan tidak bercita rasa tinggi. Imajinasi ini terbentuk karena media yang membentuk citra tersebut dalam setiap tayangannya.

Berbeda dengan Aditya dan Cinta, pada saat musim gugur tiba di Paris, saya bertemu dengan Herman (bukan nama sebenarnya) yang sangat menyukai musik dangdut. Saya bertemu Herman di sebuah kedai kopi di daerah Le Marais, sebuah daerah yang dikategorikan sebagai gay village. Herman datang mengenakan kemeja hitam yang dipadupadankan dengan vest berwarna coklat pupus. Kali ini kami berdua mengenakan sepatu karena musim sudah berganti sedikit dingin. Lalu saya mulai melakukan wawancara untuk keperluan disertasi saya dan di tengah wawancara tersebut saya secara tidak sengaja mengajukan pertanyaan tentang musik dangdut. Wah mas, saya suka lho dengan dangdut. Pasti mas kira saya tidak suka deh karena penampilan saya yang tergolong rapih. Saya gak malu ngomong ke orang-orang kalau saya suka dangdut. Saya suka dengan Inul Daratista yang sekarang mas, Evie Tamala saya juga suka lho mas. Gak tau ya kenapa saya suka dengan dangdut. Mungkin dari kecil sewaktu kami sekeluarga masih tinggal di Purwakarta, saya sering mendengar musik dangdut. Sampai sekarang saya masih suka. Saya gak keberatan kalau musik dangdut dibilang musiknya Indonesia karena ya emang dangdut cuma ada di Indonesia. Kalau kita dengar dangdut ala ala India kan beda mas, ujarnya. Lalu saya bertanya kembali sambil tertawa, enak kan musik dangdut?. Bagi saya sih enak banget mas, apalagi kalau Evie Tamala masih nyanyi, gendang sama sulingnya itu mas yang buat saya bisa suka…Selamat malam duhai kekasihku (Herman menyanyikan lagu Evie Tamala)…wah udah deh mas kalau dia udah nyanyi lagu itu saya suka banget dengerinnya, ujarnya sambil minum kopi.

Sejalan dengan pendapat Herman, beberapa hari kemudian saya bertemu dengan Aryo (bukan nama sebenarnya). Ia berpakaian sangat rapi dan terlihat sangat necis. Seperti biasa saya selalu mendahulukan pertanyaan-pertanyaan untuk disertasi saya. Sejenak kami terdiam lalu Aryo mengambil iPod dari dalam tasnya lalu Ia merokok. Sebentar ya mas aku capek, katanya. Saya sangat ingin tahu apa yang Ia dengar dari dalam iPodnya dan saya bertanya, apa yang kamu dengerin? Lantas Aryo hanya tersenyum dan berkata, aku malu mas. Tapi tapi tapi hhmm ini mas aku lagi dengar lagu ini, Aryo memberikan earphone kepada saya. Lantas saya berkata, Wah ini kan lagunya Inul. Lantas langsung saya bertanya apakah Ia suka dengan musik dangdut. Wah aku seneng banget sama musik dangdut. Pasti mas mikirnya aku suka sama lagu pop atau jazz ya? Gak mas, aku suka banget sama dangdut. Playlist ku hampir semuanya musik dangdut. Kalau aku bilang sih musik dangdut tu sudah jadi kayak lagu kebangsaan kali ya. Kalau di Indo(nesia) aku tinggal di daerah deket Tanjung Priok, nah mungkin mas kan tau ya kalau kebanyakan orang yang bekerja di kapal sukanya sama lagu dangdut. Nah gitu deh mas sama aku. Kebetulan bapakku kerja di kapal dan sukanya denger musik dangdut. Dari kecil kayaknya mas aku denger. Dan kalau musik dangdut dibilang jadi semacam musik nasional Indo(nesia), aku setuju banget mas. Dimana-mana dangdut. Walaupun kita pergi ke daerah Pondok Indah atau Senayan ya udahlah mas kita jangan munafik, pasti akan kedengaran kok musik dangdut, ujarnya.

Cerita dari Herman dan Aryo adalah suatu cerita yang begitu menarik karena dengan penampilan mereka yang chick dan rapi ternyata mereka begitu menyukai musik dangdut. Hal ini sangat bertentangan dengan cerita Aditya dan Cinta yang sangat tidak menyukai musik dangdut. Pada saat wawancara tersebut berlangsung, Aditya bekerja di sebuah rumah makan Cina dan Cinta sama sekali tidak bekerja dan hanya mengandalkan pendapatan pasangannya, sementara Herman dan Aryo bekerja di sebuah kantor sehingga apabila menghitung pemasukan tentu saja Herman dan Aryo lah yang mendapatkan banyak pemasukan. Herman dan Aryo adalah sosok yang tidak ragu untuk menyatakan kecintaannya terhadap musik dangdut. Karena musik enak mas dan liriknya juga kita gak perlu mikir, celoteh Aryo.

Sebenarnya sejak awal kemunculannya, musik ini diperuntukkan untuk semua kelas. Namun pada perkembangannya justru musik ini mendapat apresiasi yang luar biasa dari kalangan kelas bawah karena jenis musik dangdut adalah jenis musik yang ringan disertai dengan lirik lagu yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dangdut dapat dikatakan sebagai media sosial karena dangdut adalah bentuk politik kebudayaan di mana aktor sosial menciptakan simbol yang mampu menyampaikan sebuah perlawanan dan cinta (Weintraub, 2010). Keunggulan yang bisa didapat dari jenis musik ini adalah lirik lagu-lagu dangdut lebih mudah untuk dimengerti bagi pendengarnya. Musik dangdut juga berfungsi sebagai media komunikasi sosial yang dengan segala kekuatannya, musik dangdut mampu menyampaikan bahasa cinta, pesan moral, protes sosial, dan pesan agama (Luaylik&Khusyairi, 2012). Menarik apa yang dikatakan oleh Hestu (bukan nama sebenarnya). Kami bertemu di sebuah rumah makan Vietnam. Ketika itu musim dingin sehingga setelah makan kami memutuskan untuk tetap di dalam ruangan seraya menyeruput kopi panas.

Lo suka musik dangdut gak Tu?, tanya saya. Gue gak suka mas, katanya. Sebentar ya mas, gue mau ke toilet sebentar, katanya sambil menitipkan tas dan iPodnya. Ketika Ia meninggalkan saya, saya sangat ingin tahu apa isi lagu di dalam iPod tersebut. Karena saya duduk bersebelahan dengannya, saya dapat melihat lagu apa yang Ia dengar dan ternyata Ia sedang mendengarkan lagu dangdut dari Kristina. Ia kembali dari toilet dan saya yang sudah ingin tahu mengapa Ia menutupi lagunya tersebut langsung bertanya untuk yang kedua kalinya apakah Ia suka dengan musik dangdut. Ia berkata, gimana ya mas hhmmm gue hhmmm gue juga suka sih tapi udahlah mas lupain aja. Kenapa?, kata saya. Sambil tersenyum simpul Hestu menjawab bahwa Ia sebenarnya suka dengan musik dangdut tapi Ia merasa tidak nyaman apabila orang lain tahu. Gue malu mas kalau orang lain tahu. Musik dangdut kan untuk orang kelas bawah sementara gue tinggal di Paris. Padahal gue suka musik dangdut tahun sembilan puluhan mas. Ya akhirnya mas tahu juga hahaha. Jangan bilang ke siapa-siapa ya mas kalau gue sama dangdut, gue malu mas, ujarnya. Kenapa harus malu? Dangdut kan udah jadi kayak musik nasionalnya orang Indonesia?, tanya saya. Gue juga gak tau mas. Pokoknya gue malu aja. Mau dibilang dangdut udah dibilang jadi musik nasional Indonesia kek, gue malu aja kalau temen-temen gue tahu mas, imbuhnya. Orang asing saja suka kok dengan dangdut, masak kita gak suka?, tanya saya sekali lagi. Lantas Hestu menjawab, ya orang bule kan gak tau kalau dangdut itu untuk siapa mas. Cerita Hestu menunjukkan bahwa terdapat konsep hipokritas di dalam dirinya. Secara etimologis, hipokritas berasal dari bahasa Yunani, hiipokrisis yang berarti cemburu dan bermain-main seperti berakting sehingga hipokritas dapat diartikan sebagai berpura-pura memiliki kepercayaan, opini, dan perasaan (Adihartono, 2011). Di dalam hipokritas terdapat pertentangan antara ucapan dan tindakan terutama dalam ukuran konsistensi. Hal ini terjadi karena ucapan dan pikiran telah dikontrol oleh tujuan yang telah dipikirkan atau direncanakan dengan matang. Tindakan hipokritas sering kali ditampilkan dengan perkataan yang berlainan dengan apa yang ada di pikiran sebenarnya (Agustang, Badwin, Agustang&Rasyid, 2019).

Cerita-cerita Aditya, Cinta, Herman, Aryo, dan Hestu membuat kita semua berpikir apa yang salah dengan musik dangdut. Tentu saja tidak ada yang salah dari musik dangdut jika kita hubungkan dengan teori gratification sought dan gratification obtained oleh Philip Palmgreen dan J. D. Rayburn. Gratification Sought adalah motif yang mendorong seseorang untuk mengonsumsi suatu media (Kriyantono, 2008). Hal ini mendorong individu untuk menggunakan suatu media yang berkaitan dengan keinginan untuk mencari kepuasan atas kebutuhan tertentu. Motif dalam mengkonsumsi media antara satu individu dengan individu yang lainnya berbeda-beda. Sementara itu Gratification Obtained menurut Philip Palmgreen dan J. D. Rayburn adalah sebuah kepuasan seseorang individu setelah mengkonsumsi sebuah media tertentu (Kriyantono, 2008). Pada tahap gratification sought seseorang dapat memilih untuk apakah Ia dapat menerima musik dangdut. Tahap ini membawa seseorang untuk dapat melihat dan “mempelajari” apa itu musik dangdut, bagaimana musik dangdut dimainkan, bagaimana reaksi penonton musik dangdut ketika musik tersebut diperdengarkan, sampai kepada konsekuensi apa yang diharapkan oleh musik dangdut. Dari titik ini seseorang kemudian dapat menilai apa dan bagaimana musik dangdut sampai kepada tahapan gratification obtained. Pada tahap ini kepuasan seseorang akan terlihat dalam memaknai musik dangdut dengan opini-opini yang mereka utarakan. Pada titik ini hipokritas mendapat tempat. Hipokritas tidak dapat dielakkan karena ketika seseorang sudah dapat menilai dan memaknai apa itu musik dangdut maka hak seseorang tersebut untuk menilai sesuatu hal tidak dapat kita cegah. Oleh karena itu bagi para gay Indonesia di Paris mendengarkan musik dangdut adalah hanya masalah preferensi. Maka apakah musik dangdut terlihat norak? Atau apakah musik dangdut terlihat sangat anggun? Semua itu ada pada Anda yang mendengar musik dangdut.[]

 

Daftar Pustaka

Adihartono, Wisnu. (2012). “Homoseksualitas di Indonesia Antara Kenyataan dan Hipokritas”, dalam Prosiding International Conference on Indonesian Studies, Fakultas Ilmu Pengehuan Budaya, Universitas Indonesia, hal. 434-450

Agustang, A., A. Badwi, A. T. P. Agustang, R. Rasyid. (2019). “Tindakan Hipokrit Terhadap Kondom dalam Dinamika Hubungan Sosial (Studi Kualitatif pada Masyarakat Kota Makassar)”, dalam Prosiding Seminar Nasional LP2M, Universitas Negeri Makassar, hal. 254-263

Kriyantono, R. (2008). Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Luaylik, F. & Khusyairi, J. A. (2012). “Perkembangan Musik Dangdut Indonesia 1960an-1990an”, dalam Jurnal Kesejarahan, 1, hal. 26-39

Oetomo, M. (2003). “Chaos” Goyang Inul “Ngebor”, dalam Inul, Bonari Nabonenar (ed), Yogyakarta: Bentang.

Weintraub, A. (2010). Dangdut Stories: “A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music, Oxford: Oxford University Press.

Wisnu Adihartono adalah seorang sosiolog dan peneliti independen yang berbasis di Jakarta. Ia telah memperolah PhD untuk bidang sosiologi (studi gender, studi gay, sosiologi keseharian, studi migrasi, studi keluarga, studi Asia Tenggara) dari École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS), Perancis.

Wisnu Adihartono

Wisnu Adihartono adalah seorang sosiolog dan peneliti independen yang berbasis di Jakarta. Ia telah memperolah PhD untuk bidang sosiologi (studi gender, studi gay, sosiologi keseharian, studi migrasi, studi keluarga, studi Asia Tenggara) dari École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS), Perancis.

Naskah diterbitkan pada 16 April 2021.