
Judul: Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat
Penulis: Kedung Darma Romansha
Jenis Buku: Novel
Jumlah Halaman: 414
Tahun terbit: 2017
Penerbit: Indie Book Corner
Blurb Buku:
Novel Kedung Darma Romansha ini bercerita tentang dunia prostitusi, panggung dangdut, pergaulan para pemabuk dan tukang kelahi. Adegan seks dan kata-kata kasar bertaburan. Namun uniknya, novel ini tidak terkesan vulgar. Mengapa demikian? Saya rasa hal itu terkait dengan nada penulisan dan posisi narator. Narator berada pada posisi netral: dia tidak memberi penilaian moral apapun, baik dalam arti menghakimi perilaku tertentu, maupun sebaliknya, yaitu merayakan atau membela perilaku yang berada di luar standar moralitas yang menjadi pegangan mayoritas orang Indonesia. Di samping itu, penulis menaruh perhatian pada detail-detail penggambaran suasana, juga bahasa dan gaya pergaulan lokal, yang terkesan cukup realistis dan berbasis pada riset lapangan. Dengan demikian, lingkungan dan perilaku manusia yang diceritakan sekadar hadir sebagai sesuatu yang memang eksis, dan menarik sekali-sekali dilirik, serta dimasuki lewat dunia khayal sebuah novel. Mau dihakimi, dinikmati, atau sekadar diamati, itu terserah pembaca.
—Katrin Bandel, kritikus sastra
Energi bercerita yang luar biasa. Kejujuran cara bertuturnya membuat saya merasa berada diantara para karakternya. Bentuk novel yang jarang kita temukan di antara kepungan novel-novel populer sekarang ini. Salut!
—Ifa Isfansyah, sutradara film
Roman ini menunjukkan keseriusan menjelajahi secara kritis pengalaman penulisnya di tanah tumpah darahnya sendiri. Memeriksa timbunan pengetahuan lokal dan mengartikulasikannya dengan bahasa etnografis pengalaman keagamaan dan godaan seksualitas sebuah hiburan. Yang suci dan profan, yang sakral dan banal bercampur membentuk cerita yang memikat.
—Muhidin M. Dahlan, Direktur Indonesia Boekoe dan pendiri warungarsip.co Yogyakarta
Novel ini memberikan tempat baru untuk mereka di tengah tatanan masyarakat yang berbudaya ini. Mereka lebih manusia dariku, bahkan penulisnya sekalipun, pikirku.
—Alex Abad, aktor film
Membaca novel Kedung awalnya saya berpikir kalau penulisnya adalah pemain organ tunggal. Karena Kedung menuliskannya benar-benar nyata seperti yang pernah saya lihat pada tahun-tahun tersebut. Saya seolah diajak ke masa lalu, dan saya membacanya benar-benar terbius oleh ceritanya. Hebat.
—Nunung Alvi, penyanyi dangdut Pantura Cirebon-Indramayu