Merawat Ekosistem Campursari Didi Kempot
Oleh : Ribeth Nurvijayanto
Didi Kempot “Sang Maestro” musik Pop Jawa, tidak berlebihan jika gelar tersebut disematkan di pundaknya. Tidak berlebihan pula jika nama Didi Kempot kini disejajarkan dengan nama-nama seperti Ki Narto Sabda, Gesang, dan Manthous. Mereka adalah beberapa tokoh maestro pembaharu musik “tradisi” Jawa. Karya-karya mereka menghadirkan warna-warni musikal yang khas, serta menambah perbendaharaan budaya musik di Jawa. Para maestro tersebut telah mewariskan karya intelektualnya sebagai bentuk dedikasinya terhadap budaya Jawa dan menjadi ladang ilmu pengetahuan bagi generasi berikutnya.
Generasi musik campursari Didi Kempot tak ubahnya seperti generasi pendahulu, produknya sama yaitu musik yang berpijak pada musik “tradisi Jawa”, metode penciptaannya juga selaras yaitu merujuk pada tema, ide, dan gagasan dari problematika sosial, hingga urusan asmara. Pembedanya adalah bentuk musikal serta proses transmisi dari kreator kepada masyarakat. Didi Kempot telah menghasilkan ratusan lagu dengan berbagai tema, ide, dan gagasan. Ia telah hidup pada jalur musik kurang lebih selama tiga puluh tahun lamanya. Kita ketahui bersama bahwa kini ia tengah berada pada puncak karier dalam kehidupan bermusiknya. Popularitas yang diraih Didi Kempot tentu tidak diperoleh secara instan, ia telah melewati proses yang pelik dan panjang. Kerja keras Didi Kempot dalam memperbaharui serta menghidupkan musik Campursari tidak hanya sebatas pada pencarian eksistensi personal semata. Ia juga berpengaruh dalam upaya mempertebal eksistensi komunal identitas masyarakat Jawa di ranah keberagaman etnis di Indonesia. Kehadiran para penggemar yang menahbiskan diri sebagai Kempoters, Sobat Ambyar, Sad Bois, dan Sad Girl akhir-akhir ini juga turut mempertegas eksistensi Didi Kempot dan musik Campursari.
Didi Kempot dan Campursari
Mungkin tidak ada yang memprediksi sebelumnya jika Didi Kempot akan menjadi fenomenal dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini. Hal tersebut berkaca pada material musikal yang ditawarkannya yaitu musik Campursari. Citra dan stigma musik campursari adalah musik tradisional yang bagi sebagian masyarakat Indonesia mungkin dianggap tidak marketable, kuno, dan tidak bernilai untuk berada pada tataran jenis musik popular lainnya. Musik Campursari memiliki ciri khas meliputi struktur bahasa, pola lagu, instrumentasi, dan performativitasnya sangat kental dengan identitas lokal kedaerahan khususnya Jawa. Musik ini cukup popular dan digemari oleh kalangan masyarakat yang menggunakan tutur Bahasa Jawa. Eksistensinya kala itu juga hanya seputar daerah-daerah di pulau Jawa seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Campursari yang disajikan oleh Didi Kempot berbeda dengan pendahulunya yaitu Manthous. Ditinjau dari aspek musikalnya, Campursari Manthous memiliki citarasa musik tradisi Jawa yang cukup kuat. Hal itu tercermin dalam aspek instrumentasi, pola lagu, tangga nada, bahasa, hingga performativitas. Instrumen gamelan diwakili oleh saron, siter, kendhang batangan, gendher, serta gong ageng. Gamelan yang digunakan jelas sudah mengalami modifikasi terutama dari aspek tangga nada. Tangga nada yang digunakan adalah diatonis, pada umumnya bertonika A (1=A). Nada-nada yang dimainkan tergantung dengan kebutuhan lagu, jika menghendaki nuansa pelog nem maka nada yang dimainkan yaitu 1, (do), 3 (mi), 4 (fa), 5 (sol) 7 (si), ⅰ (do), dan untuk nuansa pelog barang tinggal di rumah menjadi tonika 1 = E. Nuansa slendro nada-nada yang dimainkan 1 (do), 2 (re), 3 (mi), 5 (sol), 6 (la), ⅰ (do) untuk slendro. Kadang juga memainkan diatonis minor dengan nada-nada 1 (do), 3 (mi),4 (fa), 6 (la), 7 (si), ⅰ (do).
Instrumentasi keroncong diwakili cuk dan cak, dan instrumen elektrik menggunakan keyboard dan bass gitar. Keyboard difungsikan sebagai pembawa melodi dan filler dalam lagu, pada umumnya jenis voice yang digunakan yaitu flute, strings, dan cello. Instrumen ritmis pada awalnya diwakili oleh kendang batangan. Terkadang dalam beberapa lagu-lagu baik langgam maupun dangdut muncul bunyi ritmis yang cukup khas yang berasal dari bunyi tiga buah sendok makan. Dua buah sendok pada bagian punggungnya saling dilekatkan, dan satu sendok yang lain pada bagian batangnya digunakan untuk menggetarkan melalui sela-sela kedua punggung sendok yang dilekatkan. Bunyi yang dihasilkan menggantikan peran dari instrumen tambourine.
Pola musik Campursari era Manthous bervariasi, di antaranya pola langgam seperti dalam keroncong, gending karawitan (ladrang, lancaran, ketawang), serta pola dangdut. Bahasa yang digunakan dalam lagu Campursari Manthous menggunakan Bahasa Jawa yang lebih baku yaitu dengan mengolah diksi dari tingkatan Bahasa Jawa krama alus dan ngoko. Performativitas Campursari Manthous biasanya dibawakan dengan ansambel musik yang lengkap dan penyanyi menggunakan riasan dan busana adat Jawa gaya Yogyakarta.
Campursari gaya Didi Kempot hadir dengan kemasan yang lebih “segar”. Menurut hemat saya, perbedaan Campursari Manthous dan Didi Kempot yang paling terasa terletak pada nuansa musikal, performativitas, serta diksi bahasa yang dipakai. Pendekatan garapan musikal Campursari Didi Kempot cenderung ke arah pop-keroncong-dangdut. Nada-nada yang dipakai tidak selamanya terikat pada nuansa laras slendro/pelog, meskipun ada beberapa lagu yang identik dengan bentuk dangdut Campursari. Tangga nada yang olah Didi Kempot adalah diatonis mayor maupun minor. Diksi dan pemilihan bahasa dalam lagu-lagunya juga begitu cair, bahasa Indonesia dan Jawa dicampuraduk, tidak terikat pada tingkatan bahasa Jawa tertentu, bahkan terkesan asal-asalan yang penting membentuk rima yang dirasa sesuai dengan selera dan kebutuhan. Performativitas Campursari Didi Kempot terkesan lebih minimalis, tidak lagi diiringi dengan perangkat gamelan Campursari melainkan diganti dengan keyboard plus (Keyboard, ketipung, gitar, tambourine, violin). Pakaian yang dikenakan juga mengikuti kebutuhan panggung, kadang mengenakan pakaian busana adat Jawa gaya Surakarta maupun Yogyakarta, kemeja batik, dan pakaian casual.
Tema-tema lagu yang diciptakan maupun yang dipopulerkan Didi Kempot juga beragam, tetapi yang lebih dominan berkisah tentang persoalan asmara. Lagu-lagu paling popular yang berkisah tentang asmara antara lain Sewu Kutha, Layang Kangen, Cidra, Ketaman Asmara, Tatu, Pamer Bojo, Suket Teki, Dalan Anyar, Kalung Emas, Banyu Langit, Tatu, dan sebagainya. Namun, tidak semua lagu tentang asmara dibawakan dengan pembawaan suasana sedih, ada pula yang dibawakan dengan suasana jenaka seperti Sekonyong-konyong Koder dan Jambu Alas. Selain bertema asmara, ada juga yang bertema tentang persoalan sosial lainnya seperti lagu “Sarintul, Kuncung, Kere Munggah Bale, Omprengan, dan yang terakhir diciptakan adalah lagu berjudul Aja Mudik. Bahkan ada juga lagu berjudul Tuyul Amburadul berkisah tentang jagad dedemit Jawa. Keunikan dan ciri khas lain dari lagu-lagu Didi Kempot yaitu diinspirasi dari tempat atau lanskap yang ikonik di beberapa wilayah, semisal lagu “Stasiun Balapan, Pantai Klayar, Tanjung Emas Ninggal Jandi, Hotel Malioboro, Parangtritis, Terminal Tirtonadi, dan Kangen Nickerie.
Hingga saat ini perdebatan mengenai kategorisasi lagu-lagu Didi Kempot masih hangat diperbincangkan, apakah masuk pada ranah Campursari atau dangdut. Permasalahan tersebut nampaknya perlu dibaca lebih dalam yang mengacu pada etimologi dan epistemologi dari musik Campursari itu sendiri. Pembacaan harus melibatkan dari sisi tekstual dan kontekstual seperti bentuk musikal, teknik, bahasa, instrumentasi, performativitas, dan sebagainya, serta peranan Campursari bagi masyarakat liyan. Apabila definisi Campursari mengacu pada Manthous, dapat dikatakan bahwa Didi Kempot adalah tokoh pembaharu musik tersebut. Didi Kempot sendiri juga memberikan kebebasan penafsiran terhadap bentuk musik yang disajikannya, seperti yang ia katakan dalam NGOBAM (Ngobrol Bareng Musisi) yang diinisiasi oleh Gofar Hilman tahun silam.
Alasan Campursari Didi Kempot diterima oleh masyarakat lintas generasi juga telah banyak dikupas, salah satunya oleh Tirto.id. Melalui infografis yang dipublikasikan oleh Tirto.id, dijelaskan bahwa faktor-faktor lagu Didi Kempot diminati di antaranya karena internet, rasa penasaran, kedekatan emosional, dan sifat musik itu sendiri yang terus mendaur ulang nostalgia. Saya tidak mengupas lebih jauh mengenai faktor-faktor tersebut Didi Kempot dalam tulisan ini. Namun saya turut berasumsi bahwa keberhasilan Didi Kempot dalam kontestasinya di jagad musik Indonesia berakar dari konsistensi dirinya yang terus mengusung identitas musikal yaitu campursari dan pop Jawa sepanjang perjalanan karier bermusiknya. Pada akhirnya musik campursari gaya Didi Kempot mampu beradaptasi dengan perkembangan musik dan modernisasi di Indonesia. Lagu-lagu Didi Kempot menawarkan bentuk musik yang dianggap unik di tengah pesatnya laju perkembangan musik di tanah air.
Merajut Ekosistem
Selayaknya bintang-bintang musik kenamaan lainnya baik di Indonesia maupun mancanegara, hadirnya Didi Kempot sebagai bintang di jagad musik Indonesia juga membangun ekosistem di dalamnya. Terdapat pihak-pihak yang saling membantu dalam proses artistik dan non artistik. Tulisan ini akan melihat seperti apa pola ekosistem yang dirajut oleh Didi Kempot, apakah seperti dengan artis-artis musik papan atas lainnya, ataukah ada sesuatu yang khas yang terbaca dari ekosistem tersebut.
Konsep ekosistem yang dipakai dalam wacana seni bukan sesuatu yang baru dan sudah lazim dipergunakan, meskipun secara prinsip etimologi dan epistemologi berada pada cabang ilmu biologi. Definisi ekosistem menurut KBBI berarti keanekaragaman suatu komunitas dan lingkungannya yang berfungsi sebagai suatu satuan ekologi dalam alam, sedangkan ekologi sendiri berarti interaksi atau hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan kondisi alam sekitarnya atau lingkungannya. Logika ekosistem yang dibawa dalam wacana seni dapat diserap dari beberapa kata kunci yaitu adanya organisme, hubungan timbal balik, dan habitat. Untuk tulisan ini, logika sederhana yang saya sematkan yaitu pengaruh Didi Kempot sebagai pribadi dan karya-karyanya dalam membangun hubungan timbal-balik di lingkungan hidup para seniman, pekerja seni, pegiat seni, penikmat seni, hingga masyarakat umum. Hubungan timbal balik tidak melulu tertuju pada hal-hal yang rekreatif, tetapi juga bisa dilihat dalam upaya menghidupi orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Upaya menghidupi pihak-pihak lain dapat diasumsikan dalam hal memenuhi kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) manusia.
Semasa hidup hingga akhir hayatnya, kehadiran Didi Kempot di jagad musik Indonesia membangun pola ekosistem yang cukup sistematis. Eksistensi dan popularitas Didi Kempot tidak mungkin dibangun seorang diri, pasti ada pihak-pihak lain yang turut membantu. Hal itu dapat dilihat melalui hubungan timbal balik antara Didi Kempot dengan pihak-pihak lain seperti media, seniman, pelaku seni serta para pegiat seni. Media tidak terbatas pada satu jenis platform saja, bisa media massa cetak, elektronik termasuk media sosial. Media berperan menjadi tempat diseminasi dan ruang eksistensi dari karya-karya Didi Kempot. Apalagi di era fleksibilitas dan kemudahan akses informasi berbasis internet, sangat menguntungkan bagi Didi Kempot dan para pelaku media itu sendiri. Garis besar dari benang merahnya adalah melalui media Didi Kempot lebih mudah dikenal oleh publik. Media juga memperoleh bahan baku materi berita, memperoleh viewer, followers, feedback, ratting, yang menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan sebuah topik pemberitaan media.
Bagi para seniman khususnya musisi pop Jawa, lagu-lagu, proses kreatif dan konsistensi Didi Kempot mampu memantik kreativitas para komposer atau musisi dalam berkarya. Beberapa musisi muda dan kelompok musik pop Jawa yang tengah naik daun seperti NDX AKA, Guyon Waton, Ndarboy, dan Denny Cak Nan menandai Didi Kempot sebagai salah satu tokoh inspirasinya. Di lain sisi ada para pekerja seni juga mengambil keuntungan dari karya-karya Didi Kempot. Pekerja seni dalam tulisan ini saya tujukan bagi penyanyi atau kelompok musik Dangdut, Campursari, Band Café, Organ Tunggal hingga para pengamen jalanan. Mereka menjadikan beberapa single populer Didi Kempot sebagai materi pertunjukan. Hal itu tentu saling menguntungkan satu sama lain.
Di luar permasalahan HAKI, para pekerja seni tersebut berperan menjadi media desiminasi lagu-lagu Didi Kempot dan turut merawat lagu-lagunya. Namun jika memasuki ranah copyright HAKI akan menjadi perdebatan yang cukup melelahkan. Aktivitas cover-mengcover lagu milik Didi Kempot masif sekali di jagad dunia maya. Aktivitas tersebut dilakukan dengan sadar oleh kalangan penyanyi dan musisi itu sendiri untuk memperoleh keuntungan pribadi. “Meskipun tidak semuanya, ada beberapa yang meminta izin” ujar mendiang Didi Kempot dalam sesi NGOBAM. Menanggapi hal itu, suwargi Didi Kempot belum membawa permasalahan HAKI karya-karyanya ke ranah yang lebih serius. Hal ini Nampak terkesan menguntungkan secara sepihak, namun jika dicermati ada simbiosis mutualisme yang terbangun, terlepas dari untung rugi secara finansial.
Bagi kalangan akademisi, kehidupan seni sosok Didi Kempot telah banyak diulas secara kritis dan diunggah ke berbagai media oleh puluhan penulis dan scholar di tanah air. Ada yang menguliti dari sisi artistik dan non artistik dari karya-karyanya seperti membaca tentang semiotika lagu, eksistensi musik Campursari Didi Kempot, hingga persoalan gender dalam campursari Didi Kempot. Fenomena Didi Kempot menghadirkan tawaran-tawaran kajian ilmiah yang cukup kompleks, Bagi para mahasiswa tingkat akhir dari berbagai bidang keahlian khususnya ilmu sosial, fenomena Didi Kempot menawarkan material sebagai bahan tugas akhir dengan topik kekinian. Jurnal-jurnal ilmiah tentang Didi Kempot yang tersimpan di Google Scholar, memberi tawaran bagi para pendidik ilmu sosial termasuk seni budaya sebagai materi bahan ajar di kelas.
Ekosistem juga tampak bagi para pegiat seni, khususnya yang bergerak pada event organizer. Para pekerja event seperti pemilik modal, manajemen EO, soundman, lighthing designer, cameraman, fotografer, videografer, teknisi listrik dan AC, crew panggung, SPG, sopir, penyedia sewa panggung, panggung, hingga penjaja kuliner ikut terdampak positif oleh pergelaran konser Didi Kempot. Lebih luas lagi menyasar pada tukang parkir, pendagang kaki lima, ojek online, hingga pemulung yang ikut merasakan perputaran ekonomi yang terbangun. Mereka seolah-olah saling melayani dan dilayani. Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan tersebut terus berlangsung selama ada konser Didi Kempot diselenggarakan di suatu wilayah, berbeda lokasi berbeda pula orang-orang yang terdampak.
Bagi para Kempoters, Sobat Ambyar, Sad Bois, dan Sad Girl, hubungan timbal balik juga terasa. Para penggemar garis keras Didi Kempot adalah agen yang bekerja dalam menaikkan popularitas Didi Kempot. Lagu-lagu Didi Kempot dianggap mewakili ekspresi emosi bagi para penggemar beratnya. Sosok Didi Kempot konon juga menjadi panutan hidup bagi para sobat ambyar. Seperti kalimat yang acap kali dilontarkan Didi Kempot dan para fansnya yaitu “lara ati ora perlu ditangisi, cukup dijogeti” (sakit hati tidak perlu ditangisi, cukup dijogeti/dinikmati). Tolok ukur timbal balik bagi para penggemar tentu tidak terpatri pada urusan finansial saja, ada kepuasan batin sendiri untuk memenuhi kebutuhan sekunder dalam kehidupannya. Tidak jarang yang namanya penggemar fanatik kadang tidak memedulikan urusan untung rugi secara finansial, yang utama bagi mereka bisa memenuhi hasrat untuk bertemu, bernyanyi, dan berjoget bersama. Bagi Didi Kempot, pekerja seni, dan pegiat seni yang terlibat langsung dalam proses kreatif hingga ke pergelaran, tentu akan mendapat pundi-pundi finansial dari keberadaan fans garis keras mereka.
Tanggal 11 April 2020, Didi Kempot bekerja sama dengan Kompas TV menyelenggarakan pergelaran bertajuk “Konser Amal Dari Rumah”. Event tersebut dibuat dalam rangka pengumpulan donasi untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Indonesia, dan mungkin menjadi konser penutup di akhir hayatnya. Didi Kempot memiliki daya dari buah popularitasnya saat ini, sehingga dalam pergelaran tersebut berhasil mengumpulkan uang donasi dari masyarakat lebih dari tujuh miliar rupiah. Didi Kempot memiliki andil untuk mengajak dan memantik pemirsa televisi dan para penggemarnya untuk berdonasi. Melalui program tersebut dapat dibaca bahwa ekosistem yang dibangun tidak semata-mata hidup dalam lingkaran Didi Kempot saja, ia juga memberikan dampak kepada masyarakat yang lebih luas.
Sepeninggalan Didi Kempot
Berpulangnya Didi Kempot menjadi duka mendalam bagi jagad musik Indonesia, terlebih para penggemar fanatiknya, Meninggalnya Didi Kempot sedikitnya mengubah peta dan pola ekosistem Campursari itu sendiri. Eksistensi musik Campursari dalam kontestasinya di jagad musik Indonesia bisa jadi akan berada dalam situasi stagnan. Campursari beserta ekosistemnya hanya akan hidup di daerah-daerah sebagai musik hiburan dalam hajatan masyarakat saja. Kemunculan penyanyi Campursari juga hanya akan popular di ruang lingkup daerah saja. Di sisi lain, kehadiran penyanyi solo maupun kelompok musik seperti Denny Caknan, Ndarboy, Abah Lala, Guyon Waton dan sebagainya mungkin bisa menjadi tawaran bentuk musik berbahasa Jawa pasca kepergian Didi Kempot. Tetapi nuansa musikalnya mungkin tidak lagi Campursari, tetapi mengarah pada bentuk dangdut eksploratif.
Merawat ekosistem Campursari Didi Kempot menjadi tantangan yang siap dihadapi oleh para seniman hingga pekerja seni musik populer Jawa. Nama besar Didi Kempot dengan karya-karya masterpiecenya menjadi salah satu aset berharga. Eksistensi Didi Kempot, karya-karyanya, dan musik Campursari, akan tetap terjaga selama masih ada peran aktif dari agen-agen di belakangnya. Cara kerja masing-masing agen tentu berbeda, misalnya bagi para pekerja seni khususnya penyanyi solo, maupun kelompok musik Campursari atau Dangdut Pantura. Aktivitas cover mengover lagu-lagu Didi Kempot tetap massif dilakukan. Kepergian Didi Kempot juga akan menjadi momentum para seniman musik pop Jawa untuk berkarya dengan mengeksplorasi dan mengkomodifikasi “kesedihan”. Para musisi lokal, penyanyi campursari, atau dangdut, media, hingga tempat karaoke masih bisa memanfaatkan karya-karya Didi Kempot sebagai ladang uang mereka.
Bagi pihak-pihak yang berada dalam lingkaran Didi Kempot, keberadaan akun media sosial milik manajemen Didi Kempot nampaknya akan tetap menghidupi orang-orang yang bekerja di balik layar. Akun Instagram Didikempot_official sampai tulisan ini saya buat telah memiliki 520 ribu followers, sedangkan channel youtube Didi Kempot Official Channel memiliki jumlah 1,44 juta subcriber. Peluang untuk menghasilkan pundi-pundi finansial melalui kedua akun tersebut masih sangat dimungkinkan. Mungkin ke depannya akan muncul semacam yayasan yang menaungi, melindungi, dan mengelola karya-karya intelektual mendiang Didi Kempot. Alhasil, hak-hak royalti yang semestinya menjadi “milik” Didi Kempot akan tetap berada pada naungan manajemennya. Bukan tidak mungkin suatu saat juga akan dibangun museum yang memuat segala sesuatu tentang Didi Kempot baik karya-karya, barang pribadi, dan sebagainya seperti museum raja Rock n Roll Elvis Presley di Amerika Serikat.
Urip iku urup atau hidup itu harus bermanfaat bagi sesama, kalimat itulah yang saya rasa pantas mewakili kesimpulan dalam tulisan ini. Didi Kempot tidak hidup sendiri menikmati jerih payahnya, dia tidak sekedar hidup untuk musik dan sebaliknya, tetapi juga telah menghidupi orang-orang yang berada di ekosistemnya, bahkan lebih dari itu. Didi Kempot, musik Campursari, dan orang-orang di lingkarannya saling berkelindan merajut sebuah ekosistem. Raga Didi Kempot telah menyatu dengan bumi, namun dia masih tetap bekerja menghidupi khususnya para seniman dan pelaku seni. Kita masih bisa menonton dan mendengarkan Didi Kempot dengan batasan layar kaca dan speaker/earphone, meskipun dengan energi yang berbeda.