Bukan Menghafal, Melainkan Merasakan Didi Kempot
Michael HB Raditya
Soal populer, bukan ihwal baru bagi Didi Kempot. Ia sudah digemari sejak lama oleh masyarakat—khususnya mereka yang berbahasa Jawa: Ngoko. Sejak tahun 1990-an, Didi Kempot sudah bolak-balik naik panggung di pelbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga negara di Amerika Selatan, Suriname sekalipun. Didi Kempot telah menyita perhatian masyarakat dengan kerja kerasnya pada musik Campursari. Selain seniornya Manthous, Didi Kempot merajut eksistensinya di semesta Campursari hingga kini. Bahkan dalam sebuah wawancara yang dilakukan Gofar Hilman, Didi mengaku sudah menciptakan 700 lagu sepanjang kariernya, 1989 hingga sekarang. Singkat kata, musik Campursari ada di tangan Didi Kempot, baik kini ataupun di masa depan.
Hal yang tidak kalah menarik, di pertengahan tahun 2019, popularitas Didi Kempot kembali naik. Wawancara bersama Gofar Hilman dalam acara #Ngobam—atau akronim dari ngobrol bareng musisi—mendapatkan 4.107.725 kali tonton dari netizen. Namanya kembali populer, namanya kembali digemari oleh masyarakat baby boomer, generation x, generation y, hingga generation z.
Namun saya paham, bahwa wawancara tersebut bukan satu-satunya yang mendongkrak namanya kembali bersinar melainkan sebuah lagu yang sebelumnya telah menyita perhatian, yakni “Pamer Bojo”. Pasalnya di dalam lagu tersebut, genre tetangga, Dangdut Koplo telah melahap dan mengelaborasi lagu tersebut menjadi lebih interaktif. Di mana terdapat bagian yang ditambahkan oleh Abah Lala dan MG86 Production. Bagian tersebut berada pada jembatan antara bagian verse ke bagian refrein. Ilustrasinya sebagai berikut :
Biduanita: Cendol Dawet Seger!
Biduanita: Cendol, Cendol!
Penonton: Dawet, Dawet!
Biduanita: Cendol, Cendol!
Penonton: Dawet, Dawet!
Biduanita: Cendol Dawet Seger!
Biduanita: Piro?
Penonton: Lima ratusan!
Biduanita: Terus?
Penonton: Nggak Pakai Ketan!
Bersama-sama: Ji, Ro, Lu, Pat, Mo, Enem, Pitu, Wolu.
Takitang kitang!//Takitang kitang!//Lololo//Joss!!!
Interlocking ini membuat daya partisipatif yang membuat nama Didi Kempot kembali populer. Menurut hemat saya, lagu tersebut tidak hanya menjadi presentasi Didi Kempot atas lagunya, melainkan melibatkan penonton dalam porsi yang lebih besar (lihat Thomas Turino akan ihwal presentasi ke partisipasi). Walau di tiap pentasnya, Didi Kempot enggan merespons interlocking tersebut secara lebih, atau lebih tepatnya ia memilih untuk meresponsnya dengan gerak saja. Alhasil lagu “Pamer Bojo” menjadi aktivitas yang menarik bagi penonton, sehingga membuat lagu tersebut menjadi trending topic bukan soal sulit.
Lantas apa yang terjadi di FIB pada 20 Agustus 2019? Di pelbagai tautan instagram hingga youtube, kita dapat melihat bahwa halaman Gedung R.M. Margono penuh sesak dengan manusia di dalamnya. Tidak pandang bulu, baik sivitas akademisi, sivitas artistika, hingga sivitas penggemar atau sobat ambyar, berkumpul di satu halaman. Tidak hanya berkumpul, mereka saling berimpitan satu sama lain.
Dari pengalaman saya berada di kawasan UGM sejak tahun 2006, pergelaran Didi Kempot ini telah mendatangkan penonton terbanyak. Pun Didi Kempot memuaskan hasrat penonton dengan menampilkan beberapa nomor lagunya selama 70 menit. Para penonton pun merespons dengan hangat, mulai dari ikut menyanyi, mengangkat tangan bersama, saling menggendong satu sama lain, hingga menangis sekalipun.
Usut punya usut, dari sembilan lagu Didi Kempot, tentu dengan lagu tambahan yang dinyanyikan oleh para biduanita, tidak semua penonton hafal dari setiap nomor lagu yang dinyanyikan. Tidak semua penonton bernyanyi bersama di setiap lagu-lagunya. Paling maksimal usaha penonton adalah menyenandungkan atau bergoyang-mengayunkan tubuhnya. Singkat kata, tidak semua penonton hafal, bahkan banyak penonton yang hafal hanya beberapa lagu saja, semisal: “Pamer Bojo”, “Cidro”, “Suket Teki”, “Stasiun Balapan”. Pun ketika pertunjukan, beberapa anak muda di sebelah saya berdiri tidak mengetahui sama sekali lagu dari Lord of Broken Heart tersebut.
Hal ini lantas menarik bagi saya, di mana basis massa di dalam sebuah pergelaran tidak seragam akan tujuan menyaksikan pertunjukan. Ini sudah barang tentu, toh dalam menonton dangdut pun, penonton berbeda tujuan (lihat tesis Michael HB Raditya, 2013, di mana terdapat tiga layer penonton ketika live performance). Hal yang menarik bagi saya, mereka—dengan kecenderungannya yang saya sebutkan di atas—berasal dari generasi milenial. Lebih lanjut, saya tertarik dengan pola tontonan dan logika milenial merespons pertunjukan.
Pun kegelisahan saya terjawab, di mana ketika interlocking Cendol Dawet dilakukan di lagu “Pamer Bojo” dan “Banyu Langit”, semua penonton—termasuk milenial di sekeliling saya—merespons bagian tersebut. Mereka berteriak sambil tertawa. Seraya membayar tuntas apa yang mereka ingin saksikan. Jawaban akan hal ini pun saya temukan di dalam kelas Apresiasi Musik Etnik, di mana saya dipercaya oleh G.R. Lono Lastoro Simatupang untuk ikut membantu mengajar. Di dalam kelas tersebut, mahasiswa A menjawab, “saya ingin merasakan hip-nya panggung Didi Kempot, Mas, walau saya nggak hafal lirik dan nggak paham artinya”. Namun mahasiswa B menimpali, “tapi dari ingin datang itu, saya jadi belajar liriknya, mas”. Singkat kata, saya melihat bahwa pola menikmati Didi Kempot oleh milenial tidak hanya mendengar musik yang berasal dari sumber audio semata, melainkan menuntaskan hasrat visual, bahkan merasakan viral yang mereka buat secara langsung.
Hal ini selaras dengan logika generasi milenial yang ditandai dengan piawainya mereka dengan teknologi dan visual. Jujur saja, para milenial mendengarkan Didi Kempot melalui youtube.com, dan mereka menerima tren Didi Kempot dari media yang mereka gunakan. Di mana media tersebut bertumpu pada visual, jumlah penonton, dan jumlah likes (atau fitur serupa lainnya). Alih-alih mereka terhenti pada tontonan maya tersebut, mereka mempunyai hasrat untuk menyaksikan secara langsung apa yang mereka tonton sebelumnya. Alhasil, mereka ikut menyaksikan pertunjukan Didi Kempot pada tanggal 20 Agustus, silam.
Namun dari interaksi tersebut, hal yang menarik bagi saya adalah logika mereka dalam menyaksikan pertunjukan. Di mana kesadaran untuk merasakan di dalam satu kerumunan, merasakan ketika orang di sekitar saling bernyanyi bersama, merasakan penampil menunjukkan kualitas mereka di panggung, menjadi alasan mereka “bergabung”. Lebih lanjut, tren Didi Kempot mereka jawab dengan merasakan Didi Kempot secara terindera—bekerjanya lima indera merespons tontonan. Hasil dari kerja indera dan merasakan Didi Kempotlah yang menentukan mereka menjadi bagian Sobat Ambyar secara permanen ataupun temporal. Hasilnya, banyak dari mereka memilih bergabung menjadi Sobat Ambyar dan mulai mencintai Didi kempot. Itu mereka, begitu pun saya, kalau Anda yang mana?[]